PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 35/PMK.03/2008
TANGGAL 26 FEBRUARI 2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA
PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka meningkatkan daya
saing dan untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi industri perhiasan nasional
perlu dilakukan penyesuaian pengenaan tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah
terhadap barang berupa perhiasan yang mengandung mutiara, intan, batu mulia
(selain intan) atau batu semi mulia;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana tersebut pada huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal
5 dan Pasal 8 ayat (4) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3986);
2. Peraturan Pemerintah nomor 145 TAHUN
2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 261, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4063)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4619);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun
2005;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain
Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN
KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
Pasal I
Mengubah Lampiran VI
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/KMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal II
Peraturan Menteri
Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 26
Februari 2008
MENTERI KEUANGAN,
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 42 TAHUN 2009
TANGGAL 15 OKTOBER 2009
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN
JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan
kepastian hukum dan keadilan, menciptakan sistem perpajakan yang lebih
sederhana, serta mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat
dilaksanakan secara mandiri perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang
nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal
23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang nomor 5 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
3. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3986);
Dengan Persetujuan
Bersama
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan
dalam Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3264) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:
a. Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3568);
b. Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3986),
diubah sebagai
berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan:
1. Daerah
Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan,
dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang
mengatur mengenai kepabeanan.
2. Barang adalah barang berwujud, yang
menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak
bergerak, dan barang tidak berwujud.
3. Barang Kena Pajak adalah barang yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah
setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan
yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu
barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa
yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan
bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
6. Jasa
Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
7. Penyerahan
Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
8. Pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan
barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah
setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah
Pabean ke luar Daerah Pabean.
12. Perdagangan adalah kegiatan usaha
membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-menukar barang, tanpa mengubah
bentuk dan/atau sifatnya.
13. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau
modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
14. Pengusaha adalah orang pribadi atau
badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha
perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean,
melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar
Daerah Pabean.
15. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah
melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya
menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru atau kegiatan mengolah sumber
daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan
tersebut.
17. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah
Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang
dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
18. Harga Jual adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena
penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak.
19. Penggantian adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh
Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang
yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan
dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini.
21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan
yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang
membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
22. Penerima Jasa adalah orang pribadi atau
badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan
yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak
tersebut.
23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak
yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan
Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan
Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan
Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena
Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa
Kena Pajak.
26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah
bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang
oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah
tersebut.
28. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam
Daerah Pabean di luar Daerah Pabean.
29. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap
kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.
2. Ketentuan Pasal 1A diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1A
(1) Yang termasuk dalam pengertian
penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak
karena suatu perjanjian;
b. pengalihan Barang Kena Pajak karena
suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada
pedagang perantara atau melalui juru lelang;
d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian
cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
e. Barang Kena Pajak berupa persediaan
dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang
masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
f. penyerahan Barang Kena Pajak dari
pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar
cabang;
g. penyerahan Barang Kena Pajak secara
konsinyasi; dan
h. penyerahan Barang Kena Pajak oleh
Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari
Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
(2) Yang tidak termasuk dalam pengertian
penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada
makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk
jaminan utang-piutang;
c. penyerahan Barang Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak
melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
d. pengalihan Barang Kena Pajak dalam
rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha
dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan
adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada
saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak
dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf
c.
3. Ketentuan Pasal 3A diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3A
(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g,
dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
(1a) Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Pengusaha kecil yang memilih untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Orang pribadi atau badan yang
memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang memanfaatkan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai
yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
4. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas:
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam
Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam
Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh
Pengusaha Kena Pajak;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha
Kena Pajak.
(2) Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan
jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
5. Ketentuan Pasal 4A diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
(1) Dihapus.
(2) Jenis
barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam
kelompok barang sebagai berikut:
a. barang hasil pertambangan atau hasil
pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b. barang kebutuhan pokok yang sangat
dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. makanan dan minuman yang disajikan di
hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan
minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan
minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
d. uang, emas batangan, dan surat
berharga.
(3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
a. jasa pelayanan kesehatan medis;
b. jasa pelayanan sosial;
c. jasa pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa keuangan;
e. jasa asuransi;
f. jasa keagamaan;
g. jasa pendidikan;
h. jasa kesenian dan hiburan;
i. jasa penyiaran yang tidak bersifat
iklan;
j. jasa angkutan umum di darat dan di air
serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
k. jasa tenaga kerja;
l. jasa perhotelan;
m. jasa yang disediakan oleh pemerintah
dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
n. jasa penyediaan tempat parkir;
o. jasa telepon umum dengan menggunakan
uang logam;
p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos;
dan
q. jasa boga atau katering.
6. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Di samping pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak Penjualan
atas Barang Mewah terhadap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut
di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah.
(2) Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang
Kena Pajak yang tergolong mewah.
7. Ketentuan Pasal 5A diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5A
(1) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang
Kena Pajak yang dikembalikan dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai
atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut.
(2) Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan
Jasa Kena Pajak yang dibatalkan, baik seluruhnya maupun sebagian, dapat
dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam Masa Pajak
terjadinya pembatalan tersebut.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengurangan
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengurangan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
8. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3)
diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Tarif
Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
(2) Tarif
Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud; dan
c. ekspor Jasa Kena Pajak.
(3) Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi
15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
9. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah
ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus
persen).
(2) Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).
(3) Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(4) Ketentuan mengenai jenis barang yang
dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
10. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan
1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8A
(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan
Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai
Ekspor, atau nilai lain.
(2) Ketentuan mengenai nilai lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
11. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) dihapus, ayat
(2), ayat (2a), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8),
ayat (13) dan ayat (14) diubah, di antara ayat (2a) dan ayat (3) disisipkan 1
(satu) ayat, yakni ayat (2b), di antara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 6
(enam) ayat, yakni ayat (4a) sampai dengan ayat (4f), di antara ayat (6) dan
ayat (7) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (6a) dan ayat (6b), dan di antara
ayat (7) dan ayat (8) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (7a) dan ayat (7b)
sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Dihapus.
(2) Pajak
Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa
Pajak yang sama.
(2a) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum
berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak
Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan.
(2b) Pajak Masukan yang dikreditkan harus
menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).
(3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak
Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak
Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.
(4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya
merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
(4a) Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun
buku.
(4b) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan ayat (4a), atas kelebihan Pajak Masukan dapat
diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:
a. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
c. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak
Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
d. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
e. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
f. Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum
berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
(4c) Pengembalian kelebihan Pajak Masukan
kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai
dengan huruf e, yang mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko
rendah, dilakukan dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sesuai
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang nomor 6
TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
(4d) Ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak
berisiko rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(4e) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan
pemeriksaan terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c)
dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak.
(4f) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4e), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dan perubahannya.
(5) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha
Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan
penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang
pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang
terutang pajak.
(6) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha
Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan
penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan
yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan
menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(6a) Pajak Masukan yang telah dikreditkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan telah diberikan pengembalian wajib
dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak
tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai.
(6b) Ketentuan mengenai penentuan waktu,
penghitungan dan tata cara pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat
(6a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(7) Besarnya Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu)
tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (7a), dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan Pajak Masukan.
(7a) Besarnya Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu
dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
(7b) Ketentuan mengenai peredaran usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kegiatan usaha tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (7a), dan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (7a) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(8) Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:
a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan
bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau
disewakan;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum
pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. dihapus;
f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan
Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena
Pajak;
g. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur
Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
h. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan;
dan
j. perolehan Barang Kena Pajak selain
barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
(9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan,
tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat
dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai
biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
(10) Dihapus.
(11) Dihapus.
(12) Dihapus.
(13) Ketentuan
mengenai penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4a), ayat (4b), dan ayat (4c) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(14) Dalam hal terjadi pengalihan Barang Kena
Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan
pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang
belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat dikreditkan
oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya
diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum
dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi.
12. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan
Penjelasan ayat (2) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Terutangnya
pajak terjadi pada saat:
a. penyerahan Barang Kena Pajak;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud; atau
h. ekspor Jasa Kena Pajak.
(2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam
hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak
adalah pada saat pembayaran.
(3) Dihapus.
(4) Direktur
Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam
hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan
yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
(5) Dihapus.
13. Ketentuan Pasal 12 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf
f, huruf g, dan/atau huruf h terutang pajak di tempat tinggal atau tempat
kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain selain
tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan
yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
(2) Atas pemberitahuan secara tertulis dari
Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan 1 (satu) tempat
atau lebih sebagai tempat pajak terutang.
(3) Dalam hal impor, terutangnya pajak
terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
(4) Orang pribadi atau badan yang
memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf d dan huruf e terutang pajak di tempat tinggal atau tempat
kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.
14. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Pengusaha
Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal
16D;
b. penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;
c. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; dan/atau
d. ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h.
(1a) Faktur
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal
penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam
hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d. saat lain yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur
Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena
Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.
(2a) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan.
(3) Dihapus.
(4) Dihapus.
(5) Dalam
Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib
Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib
Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga
Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dipungut;
f. kode, nomor seri, dan tanggal
pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak
menandatangani Faktur Pajak.
(6) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan
dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(7) Dihapus.
(8) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan
atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(9) Faktur
Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.
15. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16
disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15A
(1) Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) harus
dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan
sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan;
(2) Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya Masa Pajak.
16. Ketentuan Pasal 16B ayat (1) diubah
sehingga Pasal 16B berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16B
(1) Pajak terutang tidak dipungut sebagian
atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara
waktu maupun selamanya, untuk:
a. kegiatan di kawasan tertentu atau
tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu
atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
c. impor Barang Kena Pajak tertentu;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2) Pajak Masukan yang dibayar untuk
perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas
penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.
(3) Pajak Masukan yang dibayar untuk
perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat
dikreditkan.
17. Ketentuan Pasal 16D diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16D
Pajak Pertambahan
Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali
atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
18. Di antara Pasal 16D dan Pasal 17
disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 16E dan Pasal 16F sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 16E
(1) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak
yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar
negeri dapat diminta kembali.
(2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. nilai Pajak Pertambahan Nilai paling
sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan dengan
Peraturan Pemerintah;
b. pembelian Barang Kena Pajak dilakukan
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean;
dan
c. Faktur Pajak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), kecuali pada kolom Nomor Pokok
Wajib Pajak dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan alamat lengkap di
negara yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang pribadi pemegang
paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3) Permintaan kembali Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan
Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor
Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
(4) Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat
meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
adalah:
a. paspor;
b. pas naik (boarding pass) untuk
keberangkatan orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke luar Daerah
Pabean; dan
c. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan
dan penyelesaian permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 16F
Pembeli Barang Kena
Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas
pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah
dibayar.
PASAL II
Undang-Undang ini mulai
berlaku pada tanggal 1 April 2010.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di : Jakarta
pada tanggal : 15
Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 15
Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 150
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 42 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
DAN PAJAK PENJUALAN
ATAS BARANG MEWAH
I. UMUM
Pajak Pertambahan
Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang
dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis
serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari Pajak Pertambahan
Nilai. Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis baik di tingkat nasional,
regional, maupun internasional terus menciptakan jenis serta pola transaksi
bisnis yang baru. Sebagai contoh, di bidang jasa, banyak timbul transaksi jasa
baru atau modifikasi dari transaksi sebelumnya yang pengenaan Pajak Pertambahan
Nilainya belum diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam rangka menjawab
perubahan yang sangat cepat tersebut, perlu dilakukan pembaruan dan
penyempurnaan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Pembaruan (reformasi)
sistem pajak konsumsi telah dilakukan pada tahun 1983 dengan diterbitkannya
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Langkah pembaruan dan penyempurnaan
terus dilakukan secara konsisten pada tahun 1994 dengan diterbitkannya
Undang-Undang nomor 11 TAHUN 1994 dan terakhir tahun 2000 dengan diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
Perubahan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai ini bertujuan sebagai berikut:
1. Meningkatkan
kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Perkembangan transaksi bisnis,
terutama jasa, telah menciptakan jenis dan pola transaksi baru yang perlu
ditegaskan lebih lanjut pengenaannya dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai.
2. Menyederhanakan sistem Pajak
Pertambahan Nilai.
Penyederhanaan sistem Pajak
Pertambahan Nilai dilakukan dengan mengubah atau menyempurnakan ketentuan dalam
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyulitkan Wajib Pajak dalam rangka
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
3. Mengurangi
biaya kepatuhan.
Penyederhanaan sistem
Pajak Pertambahan Nilai diharapkan pula dapat mengurangi biaya, baik biaya
administrasi bagi Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya
maupun biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi
kepatuhan Wajib Pajak.
4. Meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak.
Tercapainya tujuan
tersebut diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan sukarela Wajib Pajak.
Tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan penerimaan
pajak yang tercermin dengan naiknya rasio pajak (tax ratio).
5. Tidak
mengganggu penerimaan Pajak Pertambahan Nilai.
Di samping tujuan di
atas, fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara tetap menjadi pertimbangan.
6. Mengurangi
distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup
jelas.
Angka 2
Pasal 1A
Ayat
(1)
Huruf
a
Yang dimaksud dengan
"perjanjian" meliputi jual beli, tukar-menukar, jual beli dengan
angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang.
Huruf
b
Penyerahan Barang
Kena Pajak dapat terjadi karena perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa
guna usaha (leasing).
Yang dimaksud dengan
"pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa guna usaha
(leasing)" adalah penyerahan Barang Kena Pajak yang disebabkan oleh
perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi.
Dalam hal penyerahan
Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna
usaha (leasing) dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap diserahkan langsung
dari Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan
barang (lessee).
Huruf
c
Yang dimaksud dengan
"pedagang perantara" adalah orang pribadi atau badan yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau
perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau balas
jasa tertentu, misalnya komisioner.
Yang dimaksud dengan
"juru lelang" adalah juru lelang Pemerintah atau yang ditunjuk oleh
Pemerintah.
Huruf
d
Yang dimaksud dengan
"pemakaian sendiri" adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha
sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan
produksi sendiri.
Yang dimaksud dengan
"pemberian cuma-cuma" adalah pemberian yang diberikan tanpa
pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti
pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
Huruf
e
Barang Kena Pajak
berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,
yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan pemakaian
sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak.
Dikecualikan dari
ketentuan pada huruf e ini adalah penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A
ayat (2) huruf e.
Huruf
f
Dalam hal suatu
perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang baik sebagai pusat
maupun sebagai cabang perusahaan, pemindahan Barang Kena Pajak antar tempat
tersebut merupakan penyerahan Barang Kena Pajak.
Yang dimaksud dengan
"pusat" adalah tempat tinggal atau tempat kedudukan.
Yang dimaksud dengan
"cabang" antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan
tempat kegiatan usaha sejenisnya.
Huruf
g
Dalam hal penyerahan
secara konsinyasi, Pajak Pertambahan Nilai yang sudah dibayar pada waktu Barang
Kena Pajak yang bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan
dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak
yang dititipkan tersebut.
Sebaliknya, jika
Barang Kena Pajak titipan tersebut tidak laku dijual dan diputuskan untuk
dikembalikan kepada pemilik Barang Kena Pajak, pengusaha yang menerima titipan
tersebut dapat menggunakan ketentuan mengenai pengembalian Barang Kena Pajak
(retur) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A Undang-Undang ini.
Huruf
h
Contoh:
Dalam
transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli
sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank
syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus
membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan
B, berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut
dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B.
Ayat
(2)
Huruf
a
Yang dimaksud dengan
"makelar" adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh
Presiden atau oleh pejabat yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu.
Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan
mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain
yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Dalam hal Pengusaha
Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik sebagai pusat
maupun cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, pemindahan Barang
Kena Pajak dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha lainnya
(pusat ke cabang atau sebaliknya atau antar cabang) dianggap tidak termasuk
dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali pemindahan Barang Kena
Pajak antar tempat pajak terutang.
Huruf
d
Yang dimaksud dengan
"pemecahan usaha" adalah pemisahan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas.
Huruf
e
Barang Kena Pajak
berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang
masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan atas
perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan/atau
aktiva berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon yang Pajak Masukan
atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (8) huruf c tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.
Angka 3
Pasal 3A
Ayat
(1)
Pengusaha yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di
dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud,
ekspor Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan:
a. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. memungut pajak yang terutang;
c. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai
yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang terutang; dan
d. melaporkan penghitungan pajak.
Kewajiban
di atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
Ayat
(1a)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Pengusaha kecil
diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Apabila
pengusaha kecil memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak, Undang-Undang in! berlaku
sepenuhnya bagi pengusaha kecil tersebut.
Ayat
(3)
Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus dipungut oleh orang
pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau
Jasa Kena Pajak tersebut.
Angka 4
Pasal 4
Ayat
(1)
Huruf
a
Pengusaha yang
melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang
telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena
Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan barang
yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. barang berwujud yang diserahkan
merupakan Barang Kena Pajak;
b. barang tidak berwujud yang diserahkan
merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
c. penyerahan dilakukan di dalam Daerah
Pabean; dan
d. penyerahan dilakukan dalam rangka
kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Huruf
b
Pajak juga dipungut
pada saat impor Barang Kena Pajak. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
Berbeda dengan
penyerahan Barang Kena Pajak pada huruf a, siapapun yang memasukkan Barang Kena
Pajak ke dalam Daerah Pabean, tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka
kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenai pajak.
Huruf
c
Pengusaha yang
melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang
telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan jasa yang
terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. jasa yang diserahkan merupakan Jasa
Kena Pajak;
b. penyerahan dilakukan di dalam Daerah
Pabean; dan
c. penyerahan dilakukan dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya.
Termasuk dalam
pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan
untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma.
Huruf
d
Untuk dapat
memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan impor Barang Kena Pajak,
atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean yang
dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean juga dikenai Pajak Pertambahan
Nilai.
Contoh:
Pengusaha
A yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki
Pengusaha B yang berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut oleh
Pengusaha A di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf
e
Jasa yang berasal
dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean
dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Misalnya, Pengusaha
Kena Pajak C di Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha B yang
berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang
Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf
f
Berbeda dengan
pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan/atau
huruf c, pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud hanya
pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).
Huruf
g
Sebagaimana halnya
dengan kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, pengusaha yang melakukan
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).
Yang dimaksud dengan
"Barang Kena Pajak Tidak Berwujud" adalah:
1. penggunaan atau hak menggunakan hak
cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau
model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak
kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
2. penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
3. pemberian pengetahuan atau informasi di
bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
4. pemberian bantuan tambahan atau
pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut
pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut
pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3,
berupa:
a) penerimaan atau hak menerima rekaman
gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat
melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman
gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang
disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang
serupa; dan
c) penggunaan atau hak menggunakan
sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
5. penggunaan atau hak menggunakan film
gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran
televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak
yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan
intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Huruf
h
Termasuk dalam
pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam
Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan
dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Angka 5
Pasal 4A
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Huruf
a
Barang hasil
pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya
meliputi:
a. minyak mentah (crude oil);
b. gas bumi, tidak termasuk gas bumi
seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
c. panas bumi;
d. asbes, batu tulis, batu setengah
permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar
(feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin,
leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil,
pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth),
tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan
trakkit;
e. batubara sebelum diproses menjadi
briket batubara; dan
f. bijih besi, bijih timah, bijih emas,
bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
Huruf
b
Barang kebutuhan
pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:
a. beras;
b. gabah;
c. jagung;
d. sagu;
e. kedelai;
f. garam, baik yang beryodium maupun yang
tidak beryodium;
g. daging, yaitu daging segar yang tanpa
diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong,
didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur,
diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
h. telur, yaitu telur yang tidak diolah,
termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
i. susu, yaitu susu perah baik yang telah
melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula
atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
j. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar
yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas,
dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
k. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang
dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk
sayuran segar yang dicacah.
Huruf
c
Ketentuan ini
dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan
objek pengenaan Pajak Daerah.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Huruf
a
Jasa
pelayanan kesehatan medis meliputi:
1. jasa dokter umum, dokter spesialis, dan
dokter gigi;
2. jasa dokter hewan;
3. jasa ahli kesehatan seperti ahli
akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;
4. jasa kebidanan dan dukun bayi;
5. jasa paramedis dan perawat;
6. jasa rumah sakit, rumah bersalin,
klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium;
7. jasa psikolog dan psikiater; dan
8. jasa pengobatan alternatif, termasuk
yang dilakukan oleh paranormal.
Huruf
b
Jasa
pelayanan sosial meliputi:
1. jasa pelayanan panti asuhan dan panti
jompo;
2. jasa pemadam kebakaran;
3. jasa pemberian pertolongan pada
kecelakaan;
4. jasa lembaga rehabilitasi;
5. jasa penyediaan rumah duka atau jasa
pemakaman, termasuk krematorium; dan
6. jasa di bidang olah raga kecuali yang
bersifat komersial.
Huruf
c
Jasa pengiriman surat
dengan perangko meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko
tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko tempel.
Huruf
d
Jasa
keuangan meliputi:
1. jasa menghimpun dana dari masyarakat
berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk
lain yang dipersamakan dengan itu;
2. jasa menempatkan dana, meminjam dana,
atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana
telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
3. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah, berupa:
a) sewa guna usaha dengan hak opsi;
b) anjak piutang;
c) usaha kartu kredit; dan/atau
d) pembiayaan konsumen;
4. jasa penyaluran pinjaman atas dasar
hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan
5. jasa penjaminan.
Huruf
e
Yang dimaksud dengan
”jasa asuransi” adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian,
asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen
asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.
Huruf
f
Jasa
keagamaan meliputi:
1. jasa pelayanan rumah ibadah;
2. jasa pemberian khotbah atau dakwah;
3. jasa penyelenggaraan kegiatan
keagamaan; dan
4. jasa lainnya di bidang keagamaan.
Huruf
g
Jasa
pendidikan meliputi:
1. jasa penyelenggaraan pendidikan
sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan,
pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan
akademik, dan pendidikan profesional; dan
2. jasa penyelenggaraan pendidikan luar
sekolah.
Huruf
h
Jasa kesenian dan
hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan.
Huruf
i
Jasa penyiaran yang
tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang dilakukan
oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak
dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
Huruf
j
Cukup
jelas.
Huruf
k
Jasa
tenaga kerja meliputi:
1. jasa tenaga kerja;
2. jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang
pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari
tenaga kerja tersebut; dan
3. jasa penyelenggaraan pelatihan bagi
tenaga kerja.
Huruf
l
Jasa
perhotelan meliputi:
1. jasa penyewaan kamar, termasuk
tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas
yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan
2. jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara
atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
Huruf
m
Jasa yang disediakan
oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum meliputi
jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain
pemberian Izin Mendirikan Bangunan, pemberian lzin Usaha Perdagangan, pemberian
Nomor Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk.
Huruf
n
Yang dimaksud dengan
”jasa penyediaan tempat parkir” adalah jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan
oleh pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir
dengan dipungut bayaran.
Huruf
o
Yang dimaksud dengan
”jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam” adalah jasa telepon umum
dengan menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun swasta.
Huruf
p
Cukup
jelas.
Huruf
q
Cukup
jelas.
Angka 6
Pasal 5
Ayat
(1)
Atas penyerahan
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh produsen atau atas impor Barang
Kena Pajak yang tergolong mewah, di samping dikenai Pajak Pertambahan Nilai,
dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan pertimbangan bahwa:
a. perlu keseimbangan pembebanan pajak
antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan
tinggi;
b. perlu adanya pengendalian pola konsumsi
atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah;
c. perlu adanya perlindungan terhadap
produsen kecil atau tradisional; dan
d. perlu untuk mengamankan penerimaan
negara.
Yang
dimaksud dengan "Barang Kena Pajak yang tergolong mewah” adalah:
1. barang yang bukan merupakan barang
kebutuhan pokok;
2. barang yang dikonsumsi oleh masyarakat
tertentu;
3. barang yang pada umumnya dikonsumsi
oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; dan/atau
4. barang yang dikonsumsi untuk
menunjukkan status.
Pengenaan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
tidak memperhatikan siapa yang mengimpor Barang Kena Pajak tersebut serta tidak
memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya
sekali saja.
Selain itu, pengenaan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap suatu penyerahan Barang Kena Pajak
yang tergolong mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari Barang Kena
Pajak tersebut telah dikenai atau tidak dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
pada transaksi sebelumnya.
Yang termasuk dalam
pengertian menghasilkan pada ayat ini adalah kegiatan:
a. merakit, yaitu menggabungkan
bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang
jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik, dan perabot rumah tangga;
b. memasak, yaitu mengolah barang dengan
cara memanaskan baik dicampur bahan lain maupun tidak;
c. mencampur, yaitu mempersatukan dua atau
lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain;
d. mengemas, yaitu menempatkan suatu
barang ke dalam suatu benda untuk melindunginya dari kerusakan dan/atau untuk
meningkatkan pemasarannya; dan
e. membotolkan, yaitu memasukkan minuman
atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu;
serta kegiatan lain
yang dapat dipersamakan dengan kegiatan itu atau menyuruh orang atau badan lain
melakukan kegiatan tersebut.
Ayat
(2)
Pengertian umum dari
Pajak Masukan hanya berlaku pada Pajak Pertambahan Nilai dan tidak dikenal pada
Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Oleh karena itu, Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang terutang.
Dengan demikian,
prinsip pemungutannya hanya 1 (satu) kali saja, yaitu pada waktu:
a. penyerahan oleh pabrikan atau produsen
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; atau
b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah.
Penyerahan
pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Angka 7
Pasal 5A
Ayat
(1)
Dalam hal Barang Kena
Pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan (retur) oleh pembeli, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dari Barang Kena Pajak
yang dikembalikan tersebut mengurangi Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual dan mengurangi:
a. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak
pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan telah
dikreditkan;
b. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena
Pajak pembeli, dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan
tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah
ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
c. biaya atau harta bagi pembeli yang
bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang
dikembalikan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan
(dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
Ayat
(2)
Yang dimaksud dengan
“Jasa Kena Pajak yang dibatalkan" adalah pembatalan seluruhnya atau
sebagian hak atau fasilitas atau kemudahan oleh pihak penerima Jasa Kena Pajak.
Dalam hal Jasa Kena
Pajak yang diserahkan ternyata dibatalkan, baik sebagian maupun seluruhnya oleh
penerima Jasa Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai dari Jasa Kena Pajak yang
dibatalkan tersebut mengurangi Pajak Keluaran yang terutang oleh Pengusaha Kena
Pajak pemberi Jasa Kena Pajak dan mengurangi:
a. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak
penerima Jasa Kena Pajak, dalam hal Pajak Masukan atas Jasa Kena Pajak yang
dibatalkan telah dikreditkan;
b. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena
Pajak penerima Jasa Kena Pajak, dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa
Kena Pajak yang dibatalkan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan
sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan
harta tersebut; atau
c. biaya atau harta bagi penerima Jasa
Kena Pajak yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pajak Pertambahan Nilai
atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut telah dibebankan sebagai biaya
atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Angka 8
Pasal 7
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Pajak Pertambahan
Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam
Daerah Pabean. Oleh karena itu:
a. Barang Kena Pajak Berwujud yang
diekspor;
b. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari
dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau
c. Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk
Jasa Kena Pajak yang diserahkan Oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan
melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan
bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean,
dikenai Pajak
Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen).
Pengenaan tarif 0%
(nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat
dikreditkan.
Ayat
(3)
Berdasarkan
pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk
pembangunan, Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai
menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas
persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal. Perubahan tarif sebagaimana
dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan
Rakyat dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
Angka 9
Pasal 8
Ayat
(1)
Tarif Pajak Penjualan
atas Barang Mewah dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu tarif
paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada pengelompokan Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
Ayat
(2)
Pajak Penjualan atas
Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean dikenai
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 0% (nol persen). Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.
Ayat
(3)
Dengan mengacu pada
pertimbangan sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1),
pengelompokan barang-barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
terutama didasarkan pada tingkat kemampuan golongan masyarakat yang
mempergunakan barang tersebut, di samping didasarkan pada nilai gunanya bagi masyarakat
pada umumnya. Sehubungan dengan hal itu, tarif yang tinggi dikenakan terhadap
barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Dalam
hal terhadap barang yang dikonsumsi oleh masyarakat banyak perlu dikenai Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, tarif yang dipergunakan adalah tarif yang rendah.
Pengelompokan barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dilakukan
setelah berkonsultasi dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang
membidangi keuangan.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Angka 10
Pasal 8A
Ayat
(1)
Ayat ini mengatur
cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang. Untuk jelasnya diberikan
contoh cara penghitungan sebagai berikut.
Contoh:
a. Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai
Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp25.000.000,00.
Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang = 10% x Rp25.000.000,00 = Rp2.500.000,00
Pajak Pertambahan
Nilai sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak A.
b. Pengusaha Kena Pajak B melakukan
penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian Rp20.000.000,00.
Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang = 10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00.
Pajak Pertambahan
Nilai sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak B.
c. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor Rp15.000.000,00.
Pajak Pertambahan
Nilai yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x
Rp15.000.000,00 = Rp1.500.000,00.
d. Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor
Barang Kena Pajak dengan Nilai Ekspor Rp10.000.000,00.
Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang = 0% x Rp10.000.000,00 = Rp0,00.
Pajak Pertambahan
Nilai sebesar Rp0,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran.
Ayat
(2)
Dasar Pengenaan Pajak
berupa nilai lain diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
hanya untuk menjamin rasa keadilan dalam hal:
a. Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai
Impor, dan Nilai Ekspor sukar ditetapkan; dan/atau
b. penyerahan Barang Kena Pajak yang
dibutuhkan oleh masyarakat banyak, seperti air minum dan listrik.
Angka 11
Pasal 9
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Pembeli Barang Kena Pajak,
penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang
memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak
Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan
Nilai yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi
pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena
Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pajak Masukan yang
wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak
Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama.
Ayat
(2a)
Pada dasarnya Pajak
Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama. Namun,
bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi, Pajak Masukan atas perolehan
dan/atau impor barang modal diperkenankan untuk dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), kecuali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (8).
Ayat
(2b)
Untuk keperluan
mengkreditkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak menggunakan Faktur Pajak yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).
Selain itu, Pajak
Masukan yang akan dikreditkan juga harus memenuhi persyaratan kebenaran formal
dan material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (9).
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Pajak Masukan yang
dimaksud pada ayat ini adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Dalam suatu Masa
Pajak dapat terjadi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada
Pajak Keluaran. Kelebihan Pajak Masukan tersebut tidak dapat diminta kembali
pada Masa Pajak yang bersangkutan, tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak
berikutnya.
Contoh:
Masa
Pajak Mei 2010
Pajak
Keluaran = Rp2.000.000,00
Pajak
Masukan yang dapat = Rp4.500.000,00
dikreditkan
-------------------
(-)
Pajak
yang lebih dibayar = Rp2.500.000,00
Pajak
yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2010.
Masa
Pajak Juni 2010
Pajak
Keluaran = Rp3.000.000,00
Pajak
Masukan yang dapat
dikreditkan = Rp2.000.000,00
-------------------
(-)
Pajak
yang kurang dibayar = Rp1.000.000,00
Pajak
yang lebih dibayar dari Masa Pajak
Mei
2010 yang dikompensasikan ke
Masa
Pajak Juni 2010 = Rp2.500.000,00
-------------------
(-)
Pajak
yang lebih dibayar Masa Pajak
Juni
2010 = Rp1.500.000,00
Pajak
yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2010.
Ayat
(4a)
Kelebihan Pajak
Masukan dalam suatu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan pada ayat (4)
dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya. Namun, apabila kelebihan Pajak
Masukan terjadi pada Masa Pajak akhir tahun buku, kelebihan Pajak Masukan
tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian (restitusi).
Termasuk dalam
pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini adalah Masa Pajak saat Wajib
Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar).
Ayat
(4b)
Cukup
jelas.
Ayat
(4c)
Cukup
jelas.
Ayat
(4d)
Cukup
jelas.
Ayat
(4e)
Untuk mengurangi
penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan pajak,
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
Ayat
(4f)
Dalam hal Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, sanksi kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5)
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dan perubahannya tidak diterapkan walaupun pada tahap sebelumnya
sudah diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.
Sebaliknya, sanksi administrasi yang dikenakan adalah bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2) Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
Apabila dalam
pemeriksaan dimaksud ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang
perpajakan, ketentuan ini tidak berlaku.
Ayat
(5)
Yang dimaksud dengan
"penyerahan yang terutang pajak" adalah penyerahan barang atau jasa
yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Yang dimaksud dengan
"penyerahan yang tidak terutang pajak” adalah penyerahan barang dan jasa
yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A
dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16B.
Pengusaha Kena Pajak
yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak dan
penyerahan yang tidak terutang pajak hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan
yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Bagian penyerahan yang
terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha
Kena Pajak.
Contoh:
Pengusaha
Kena Pajak melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu:
a. penyerahan yang terutang pajak =
Rp25.000.000,00
Pajak
Keluaran = Rp2.500.000,00
b. penyerahan yang tidak terutang Pajak
Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00
Pajak
Keluaran = nihil
c. penyerahan yang dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00
Pajak
Keluaran = nihil
Pajak
Masukan yang dibayar atas perolehan:
a. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak
yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak = Rp 1.500.000,00
b. Barang
Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak
dikenai Pajak Pertambahan Nilai = Rp300.000,00
c. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak
yang berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai = Rp500.000,00
Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp2.500.000,00 hanya sebesar
Rp1.500.000,00.
Ayat
(6)
Dalam hal Pajak
Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan
pasti, cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan
dan kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak. Contoh:
Pengusaha Kena Pajak
melakukan 2 (dua) macam penyerahan, yaitu:
a. penyerahan yang terutang pajak =
Rp35.000.000,00
Pajak
Keluaran = Rp3.500.000,00
b. penyerahan yang tidak terutang pajak =
Rp15.000.000,00
Pajak
Keluaran = nihil
Pajak Masukan yang
dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan
dengan keseluruhan penyerahan sebesar Rp2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan
yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui
dengan pasti. Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp2.500.000,00 tidak
seluruhnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp3.500.000,00.
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung berdasarkan pedoman yang
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat
(6a)
Agar dapat
dikreditkan, Pajak Masukan atas pengeluaran dalam rangka impor dan/atau
perolehan barang modal juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut
harus berhubungan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan
Nilai.
Dalam hal Pengusaha
Kena Pajak mengalami keadaan gagal berproduksi, tidak ada penyerahan yang
terutang pajak sehingga tidak ada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Oleh
karena itu, sebagai konsekuensinya, Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan
barang modal yang telah dikembalikan harus dibayar kembali.
Ayat
(6b)
Cukup
jelas.
Ayat
(7)
Dalam rangka
menyederhanakan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor,
Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak
melebihi jumlah tertentu dapat menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
Ayat
(7a)
Dalam rangka
memberikan kemudahan dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang harus
disetor, Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu menghitung
besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan pedoman
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
Ayat
(7b)
Cukup
jelas.
Ayat
(8)
Pajak Masukan pada
dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Akan tetapi, untuk
pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat
dikreditkan.
Huruf
a
Ketentuan ini
memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha
A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada
tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada
tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak
Masukan yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan
berdasarkan ketentuan ini.
Huruf
b
Yang dimaksud dengan
pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran
untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini
berlaku untuk semua bidang usaha. Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga
harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya
penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, meskipun
suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan
kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat
dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan
penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Ketentuan ini
memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha
A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada
tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada
tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak
Masukan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak
dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Huruf
f
Cukup
jelas.
Huruf
g
Cukup
jelas.
Huruf
h
Dalam hal tertentu
dapat terjadi Pengusaha Kena Pajak baru membayar Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang atas perolehan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
setelah diterbitkan ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas
ketetapan pajak tersebut tidak merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Huruf
i
Sesuai dengan sistem
self assessment, Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan seluruh kegiatan
usahanya dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Selain itu,
kepada Pengusaha Kena Pajak juga telah diberikan kesempatan untuk melakukan
pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sehingga sudah
selayaknya jika Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dilaporkan:
Pajak
Keluaran = Rp 10.000.000,00
Pajak
Masukan = Rp 8.000.000,00
Dari
hasil pemeriksaan diketahui:
Pajak
Keluaran = Rp 15.000.000,00
Pajak
Masukan = Rp11.000.000,00
Dalam
hal ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak sebesar Rp11.000.000,00,
tetapi tetap sebesar Rp8.000.000,00 sesuai dengan yang dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
Dengan
demikian, perhitungan hasil pemeriksaan
Pajak
Keluaran = Rp15.000.000,00
Pajak
Masukan = Rp 8.000.000,00
-------------------
(-)
Kurang
Bayar menurut
hasil
pemeriksaan = Rp 7.000.000,00
Kurang
Bayar menurut
Surat
Pemberitahuan = Rp 2.000.000,00
-------------------
(-)
Masih
kurang dibayar = Rp 5.000.000,00
Huruf
j
Cukup
jelas.
Ayat
(9)
Ketentuan ini
memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan dengan
Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak sama yang disebabkan, antara lain,
Faktur Pajak terlambat diterima. Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak
yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak
berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengkreditan
Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Kedua cara pengkreditan
tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum
dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasi) kepada harga
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan dan terhadap
Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan.
Contoh:
Pajak
Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tertanggal 7 Juli
2010 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Juli 2010 atau
pada Masa Pajak berikutnya paling lama Masa Pajak Oktober 2010.
Ayat
(10)
Cukup
jelas.
Ayat
(11)
Cukup
jelas.
Ayat
(12)
Cukup
jelas.
Ayat
(13)
Cukup
jelas.
Ayat (14)
Cukup
jelas.
Angka 12
Pasal 11
Ayat
(1)
Pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip
akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum
diterima atau belum sepenuhnya diterima atau pada saat impor Barang Kena Pajak.
Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui electronic
commerce tunduk pada ketentuan ini.
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Dalam hal orang
pribadi atau badan memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, terutangnya pajak terjadi pada saat
orang pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di dalam Daerah Pabean. Hal itu
dihubungkan dengan kenyataan bahwa yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di luar Daerah Pabean sehingga tidak
dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu, saat pajak
terutang tidak lagi dikaitkan dengan saat penyerahan, tetapi dikaitkan dengan
saat pemanfaatan.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Huruf
f
Cukup
jelas.
Huruf
g
Cukup
jelas.
Huruf
h
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Dalam hal pembayaran
diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) huruf a, sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf d, atau sebelum dimulainya pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e, saat
terutangnya pajak adalah saat pembayaran.
Ayat
(3)
Cukup jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Angka 13
Pasal 12
Ayat
(1)
Pengusaha Kena Pajak
orang pribadi terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha,
sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak badan terutang pajak di tempat kedudukan
dan tempat kegiatan usaha.
Apabila Pengusaha
Kena Pajak mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat
tinggal atau tempat kedudukannya, setiap tempat tersebut merupakan tempat
terutangnya pajak dan Pengusaha Kena Pajak dimaksud wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Apabila Pengusaha
Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang yang berada di
wilayah kerja 1 (satu) Kantor Direktorat Jenderal Pajak, untuk seluruh tempat
terutang tersebut, Pengusaha Kena Pajak memilih salah satu tempat kegiatan
usaha sebagai tempat pajak terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat
kegiatan usahanya, kecuali apabila Pengusaha Kena Pajak tersebut menghendaki
lebih dari 1 (satu) tempat pajak terutang, Pengusaha Kena Pajak wajib
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak.
Dalam hal-hal
tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat lain selain tempat
tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak
terutang.
Contoh
1:
Orang pribadi A yang
bertempat tinggal di Bogor mempunyai usaha di Cibinong. Apabila di tempat
tinggal orang pribadi A tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak, orang pribadi A hanya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong sebab
tempat terutangnya pajak bagi orang pribadi A adalah di Cibinong. Sebaliknya,
apabila penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan oleh
orang pribadi A hanya di tempat tinggalnya saja, orang pribadi A hanya wajib
mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor. Namun, apabila baik
di tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya orang pribadi A melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A wajib
mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor dan Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Cibinong karena tempat terutangnya pajak berada di Bogor dan di
Cibinong. Berbeda dengan orang pribadi, Pengusaha Kena Pajak badan wajib
mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan maupun di tempat kegiatan usaha
karena bagi Pengusaha Kena Pajak badan di kedua tempat tersebut dianggap
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
Contoh 2:
PT A mempunyai 3
(tiga) tempat Kegiatan usaha, yaitu di kota Bengkulu, Bintuhan, dan Manna yang
ketiganya berada di bawah pelayanan 1 (satu) kantor pelayanan pajak, yaitu
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu. Ketiga tempat kegiatan usaha tersebut
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan melakukan
administrasi penjualan dan administrasi keuangan sehingga PT A terutang pajak
di ketiga tempat atau kota itu. Dalam keadaan demikian, PT A wajib memilih
salah satu tempat kegiatan usaha untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya tempat kegiatan usaha di Bengkulu. PT A
yang bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini bertanggung jawab untuk
melaporkan seluruh kegiatan usaha yang dilakukan oleh ketiga tempat kegiatan
usaha perusahaan tersebut.
Dalam hal PT A
menghendaki tempat kegiatan usaha di Bengkulu dan Bintuhan ditetapkan sebagai
tempat pajak terutang untuk seluruh kegiatan usahanya, PT A wajib
memberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu.
Ayat
(2)
Apabila Pengusaha
Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha,
Pengusaha Kena Pajak tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Orang pribadi atau
badan baik sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun bukan Pengusaha Kena Pajak yang
memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean dan/atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean tetap terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat
kegiatan usaha orang pribadi atau di tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan
usaha badan tersebut.
Angka 14
Pasal 13
Ayat
(1)
Dalam hal terjadi
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, Pengusaha
Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau menyerahkan Jasa Kena
Pajak itu wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan
Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat
secara khusus atau berbeda dengan faktur penjualan. Faktur Pajak dapat berupa
faktur penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak
oleh Direktur Jenderal Pajak.
Berdasarkan ketentuan
ini, atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D wajib
diterbitkan Faktur Pajak.
Ayat
(1a)
Pada prinsipnya
Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan atau pada saat penerimaan
pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan. Dalam hal tertentu
dimungkinkan saat pembuatan Faktur Pajak tidak sama dengan saat-saat tersebut,
misalnya dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah. Oleh karena itu, Menteri Keuangan
berwenang untuk mengatur saat lain sebagai saat pembuatan Faktur Pajak.
Ayat
(2)
Dikecualikan dari
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk meringankan beban
administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat 1 (satu)
Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan
Jasa Kena Pajak yang terjadi selama 1 (satu) bulan kalender kepada pembeli yang
sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak
gabungan.
Ayat
(2a)
Untuk meringankan
beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak diperkenankan membuat Faktur Pajak gabungan
paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak meskipun di dalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran
baik sebagian maupun seluruhnya.
Contoh
1:
Dalam
hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada
pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31 Juli 2010, tetapi
sampai dengan tanggal 31 Juli 2010 sama sekali belum ada pembayaran atas
penyerahan tersebut, Pengusaha Kena Pajak A diperkenankan membuat 1 (satu)
Faktur Pajak gabungan yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada
bulan Juli, yaitu paling lama tanggal 31 Juli 2010.
Contoh
2:
Pengusaha
Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada
tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28
September 2010 terdapat pembayaran oleh pengusaha B atas penyerahan tanggal 2
September 2010. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak
gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang
meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada bulan September.
Contoh
3:
Pengusaha
Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada
tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28
September 2010 terdapat pembayaran atas penyerahan tanggal 2 September 2010 dan
pembayaran uang muka untuk penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Oktober
2010 oleh pengusaha B. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur
Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010
yang meliputi seluruh penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada
bulan September.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Faktur Pajak
merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk
mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas,
dan benar serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena
Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas
Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang
Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan
ketentuan dalam ayat ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum
di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat
(8) huruf f.
Ayat
(6)
Dikecualikan dari
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat
menentukan dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak.
Ketentuan
ini diperlukan, antara lain, karena:
a. faktur penjualan yang digunakan oleh
pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas, seperti kuitansi pembayaran
telepon dan tiket pesawat udara;
b. untuk adanya bukti pungutan pajak harus
ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu
pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar
Daerah Pabean, misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak; dan
c. terdapat dokumen tertentu yang digunakan
dalam hal impor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.
Ayat
(7)
Cukup
jelas.
Ayat
(8)
Faktur Pajak yang
dibetulkan adalah, antara lain, Faktur Pajak yang salah dalam pengisian atau
salah dalam penulisan. Termasuk dalam pengertian salah dalam pengisian atau
salah dalam penulisan adalah, antara lain, adanya penyesuaian Harga Jual akibat
berkurangnya kuantitas atau kualitas Barang Kena Pajak yang wajar terjadi pada
saat pengiriman.
Ayat
(9)
Faktur Pajak memenuhi
persyaratan formal apabila diisi secara lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
Faktur Pajak atau
dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi
persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau
sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Dengan demikian,
walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan
dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar Pajak
Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau
dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak
sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena
Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak atau
dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut
tidak memenuhi syarat material.
Angka 15
Pasal 15A
Dalam rangka
memberikan kelonggaran waktu kepada Pengusaha Kena Pajak untuk menyetor
kekurangan pembayaran pajak dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai, Pasal ini mengatur secara khusus mengenai batas akhir
pembayaran dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
yang berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
Dalam hal terjadi
keterlambatan pembayaran pajak terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai dan/atau keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal
ini, Pengusaha Kena Pajak tetap dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dan perubahannya.
Angka 16
Pasal 16B
Ayat
(1)
Salah satu prinsip
yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan
dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap
kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang
teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap
kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu
pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak
menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan dan maksud
diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan
yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi
yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia
usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta
memperlancar pembangunan nasional.
Kemudahan perpajakan
yang diatur dalam Pasal ini diberikan terbatas untuk:
a. mendorong ekspor yang merupakan
prioritas nasional di Tempat Penimbunan Berikat atau untuk mengembangkan
wilayah dalam Daerah Pabean yang dibentuk khusus untuk maksud tersebut;
b. menampung kemungkinan perjanjian dengan
negara lain dalam bidang perdagangan dan investasi, konvensi internasional yang
telah diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya;
c. mendorong peningkatan kesehatan
masyarakat melalui pengadaan vaksin yang diperlukan dalam rangka program
imunisasi nasional;
d. menjamin tersedianya peralatan Tentara
Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai untuk
melindungi wilayah Republik Indonesia dari ancaman eksternal maupun internal;
e. menjamin tersedianya data batas dan
foto udara wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional
Indonesia (TNI) untuk mendukung pertahanan nasional;
f. meningkatkan pendidikan dan kecerdasan
bangsa dengan membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku
pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat;
g. mendorong pembangunan tempat ibadah;
h. menjamin tersedianya perumahan yang
harganya terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah, yaitu rumah sederhana, rumah
sangat sederhana, dan rumah susun sederhana;
i. mendorong pengembangan armada nasional
di bidang angkutan darat, air, dan udara;
j. mendorong pembangunan nasional dengan
membantu tersedianya barang yang bersifat strategis, seperti bahan baku
kerajinan perak;
k. menjamin terlaksananya proyek
pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri;
l. mengakomodasi kelaziman internasional
dalam importasi Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pungutan Bea
Masuk;
m. membantu tersedianya Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan bencana alam
yang ditetapkan sebagai bencana alam nasional;
n. menjamin tersedianya air bersih dan
listrik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat; dan/atau
o. menjamin tersedianya angkutan umum di
udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah
tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, yang
perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan
sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi.
Ayat
(2)
Adanya perlakuan
khusus berupa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang, tetapi tidak dipungut,
diartikan bahwa Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat perlakuan khusus dimaksud tetap
dapat dikreditkan. Dengan demikian, Pajak Pertambahan Nilai tetap terutang,
tetapi tidak dipungut.
Contoh:
Pengusaha
Kena Pajak A memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara,
yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak
tersebut tidak dipungut selamanya (tidak sekadar ditunda).
Untuk memproduksi
Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A menggunakan Barang Kena
Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang
modal, ataupun sebagai komponen biaya lain.
Pada waktu membeli
Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak
A membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual
atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Jika Pajak
Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Pengusaha
Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
dengan Pajak Keluaran, Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan Pajak
Keluaran walaupun Pajak Keluaran tersebut nihil karena menikmati fasilitas
Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut dari negara berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat
(3)
Berbeda dengan
ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran
sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat
dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha
Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara,
yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk memproduksi Barang
Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain
dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal,
ataupun sebagai komponen biaya lain.
Pada waktu membeli
Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak
B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual
atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Meskipun Pajak
Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha
Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan,
karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan
dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut
menjadi tidak dapat dikreditkan.
Angka 17
Pasal 16 D
Penyerahan Barang
Kena Pajak, antara lain, berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan, atau
Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai pajak.
Namun, Pajak
Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak yang tidak
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaraan bermotor
berupa sedan dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b
dan huruf c Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat
dikreditkan.
Angka 18
Pasal 16E
Ayat
(1)
Dalam rangka menarik
orang pribadi pemegang paspor luar negeri untuk berkunjung ke Indonesia, kepada
orang pribadi tersebut diberikan insentif perpajakan. Insentif tersebut berupa
pengembalian Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak di Indonesia yang kemudian
dibawa oleh orang pribadi tersebut ke luar Daerah Pabean.
Ayat
(2)
Barang Kena Pajak
yang dibeli dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi pemegang
paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dianggap akan dikonsumsi di luar
Daerah Pabean. Oleh karena itu, Faktur Pajak yang dapat digunakan sebagai dasar
untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dipersyaratkan hanya untuk Faktur Pajak yang diterbitkan dalam jangka
waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri
meninggalkan Indonesia.
Bagi orang pribadi
pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak,
Faktur Pajak yang dapat dipergunakan untuk meminta kembali Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah harus mencantumkan identitas berupa
nama, nomor paspor, dan alamat lengkap orang pribadi tersebut di negara yang
menerbitkan paspor.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal 16F
Sesuai dengan prinsip
beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau
penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen
barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang
terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat
ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak
dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau
pemberi jasa.
PASAL II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5069
Tidak ada komentar:
Posting Komentar