Minggu, 13 Januari 2013

PPh Pasal 23

Pengertian


PPh pasal 23 mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 21.

Objek Pemotongan PPh

  1.  Deviden
  2. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang
  3. Royalti
  4. Hasiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh 21
  5. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi (yang jumlahnya melebihi Rp.240.000)
  6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen. jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 21
  7. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta

Pemotong Pajak 

  • Badan Pemerintah
  • Subyek Pajak Badan Dalam Negeri
  •  Bentuk Usaha Tetap
  • Perwakilan Perusahaan Dalam Negeri Lainnya
  • Orang pribadi sebagai wajib pajak tertentu yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak (KPP)

Tarif dan Dasar Pemotongan

  1. Tarif 15 % 
          Penghasilan Bruto
  •  Deviden
  •  Bunga termasuk premium
  •  Diskonto
  •  Imbalan sehubungan jaminan pengembalian uang 
  • Royalti
  • Hadiah dan penghargaan sehubungan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21
  • Bunga simpanan yang telah dibayarkan oleh koperasi (bersifat final)
     2.   Tarif 2 %
  • Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan harta
  •  Sehubungan dengan penggunaan harta imbalan : jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan
  •  Jasa lain yang ditetapkan Dirjen Pajak selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21

Tarif dan objek PPh Pajak Pasal 23

Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
  1. Dividen
  2. Bunga, premium, diskonto, premiswap, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang;
  3. Royalti
  4. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21
Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
  1.  Sewa dan penghasilan sehubungan denganpenggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenakan PPh final;
  2. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21
  3. Imbalan sehubungan dengan jasa lain, selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21: jasa penilai, jasa aktuaris, jasa akuntansi, jasa pembukuan dan astestasi laporan keungan, jasa perancang (design), jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan bentuk usaha tetap, dll.

Dikecualikan dari Pemotong PPh Pasal 23 

  • Penghasilan yang dibayar/terutsng kepada bank
  • Sewa yang dibayarkan terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi
  • Dividen / bagian laba yang diterima / diperoleh sebagai wajib pajak dalam negeri BUMN / BUMD dari penyertaan modal pada berkedudukan di indonesia
  • Bunga obligasi yang diterima / diperoleh perusahaan reksa dana selama 5 tahun pertama sejak pendirian
  • Bagian laba yang diterima / diperoleh perusahaan ventura
  • SHU koperasi yang dibayarkan kepada anggotanya 
  •  Bunga simpana yang tidak melebihi batas yang ditetapkan oleh MENKEU yang dibayarkan oleh koperasi maksimal Rp.240.000 / bulan


¨


 

 




Mengenal Sanksi Pajak

Pengetahuan tentang sanksi dalam perpajakan menjadi penting karena pemerintah lndonesia memilih menerapkan self assessment system dalam rangka  pelaksanaan pemungutan pajak. Berdasarkan sistem ini, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Untuk dapat menjalankannya dengan baik, maka setiap Wajib Pajak memerlukan pengetahuan pajak, baik dari segi peraturan maupun teknis administrasinya. Agar pelaksanaannya dapat tertib dan sesuai dengan target yang diharapkan, pemerintah telah menyiapkan rambu-rambu yang diatur dalam UU Perpajakan yang berlaku.
Dari sudut pandang yuridis, pajak memang mengandung unsur pemaksaan. Artinya, jika kewaiiban perpajakan tidak dilaksanakan, maka ada konsekuensi hukum yang bisa terjadi. Konsekuensi hukum tersebut adalah pengenaan sanksi-sanksi perpajakan.
Pada hakikatnya, pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Itulah sebabnya, penting bagi Wajib pajak memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui konsekuensi hukum dari apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan. Untuk dapat memberikan gambaran mengenai hal-hal apa saja yang perlu dihindari agar tidak dikenai sanksi perpajakan, di bawah ini akan diuraikan tentang jenis-jenis sanksi perpajakan dan perihal pengenaannya.
Ada 2 macam Sanksi perpajakan,
1.   Sanksi Administrasi yang terdiri dari:
a.   Sanksi Adrninistrasi Berupa Denda
Sanksi denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan dalam UU perpajakan. Terkait besarannya denda dapat ditetapkan sebesar jumlah tertentu, persentase dari     jumlah tertentu, atau suatu angka perkalian dari jumlah tertentu.
Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda ini akan ditambah dengan sanksi pidana. Pelanggaran yang juga dikenai sanksi pidana ini adalah pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja. 

 b. Sanksi Aministrasi Berupa Bunga
Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan atas pelanggaran yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar. Jumlah bunga dihitung berdasarkan persentase tertentu dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga itu menjadi hak/kewajiban sampai dengan saat diterima dibayarkan.
Terdapat beberapa perbedaan dalam menghitung bunga utang biasa dengan bunga utang paiak. Penghitungan bunga utang pada umumnya menerapkan bunga majemuk (bunga berbunga). Sementara, sanksi bunga dalam ketentuan pajak tidak dihitung berdasarkan bunga majemuk.
Besarnya bunga akan dihitung secara tetap dari pokok pajak yang tidak/kurang dibayar. Tetapi, dalam hal Waiib Paiak hanya membayar sebagian atau tidak membayar sanksi bunga yang terdapat dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan, maka sanksi bunga tersebut dapat ditagih kembali dengan disertai bunga lagi
Perbedaan lainnya dengan bunga utang pada umumnya adalah sanksi bunga dalam ketentuan perpajakan pada dasarnya dihitung 1 (satu) bulan penuh. Dengan kata lain, bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh atau tidak dihitung secara harian.
 
c.   Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan
Jika melihat bentuknya, bisa jadi sanksi administrasi berupa kenaikan adalah sanksi yang paling ditakuti oleh wajib Pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak yang harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya dihitung dengan angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang dibayar.
Jika dilihat dari penyebabnya, sanksi kenaikan biasanya dikenakan karena Wajib Pajak tidak memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam menghitung jumlah pajak terutang. Untuk lebih jelasnya, hal-hal yang dapat menyebabkan sanksi berupa kenaikan dan besarnya kenaikan dapat dilihat dalam tabel 3.
 
2.   Sanksi Pidana
Kita sering mendengar isilah sanksi pidana dalam peradilan umum. Dalam perpajakan pun dikenai adanya sanksi pidana. UU KUP menyatakan bahwa pada dasarnya, pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Namun, pemerintah masih memberikan keringanan dalam pemberlakuan sanksi pidana dalam pajak, yaitu bagi Wajib Pajak yang baru pertama kali melanggar ketentuan Pasal 38 UU KUB tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi. Pelanggaran Pasal 38 UU KUP adalah tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan tindak kejahatan. Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan, tindak pelanggaran disebut dengan kealpaan, yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan tindak kejahatan adalah tindakan dengan sengaja tidak mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Meski dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terlampaui.Jangka waktu ini dihitung sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Penetapan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun ini disesuaikan dengan daluarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang, yaitu selama 10 (sepuluh) tahun.
Dalam UU Perpajakan Indonesia, ketentuan mengenai sanksi pidana pada intinya diatur dalam Bab VIII UU KUP sebagai hukum pajak format. Namun, dalam UU Perpajakan lainnya, dapat juga diatur sanksi pidana. Sanksi pidana biasanya disertai dengan sanksi administrasi berupa denda, walaupun tidak selalu ada.
          



Sumber :
Indonesian Tax Review
http://konsultan-pajak.co.cc aris-aviantara.blogspot aviantara.multiply

Penerimaan Pajak di Indonesia

Penerimaan Pajak di Indonesia

Target penerimaan negara Indonesia di sektor pajak tahun 2006 secara nasional sebesar Rp362 triliun atau mengalami peningkatan 20 persen dari 2005 lalu. Angka tersebut terdiri Rp325 triliun dari pajak dan Rp37 triliun dari Pajak Penghasilan (PPh) Migas.
Target penerimaan negara dari perpajakan dalam APBN 2006 mencapai Rp402,1 triliun. Target penerimaan itu antara lain berasal dari:
  • Pajak Penghasilan (PPh) Rp198,22 triliun
  • Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) Rp126,76 triliun
  • Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp15,67 triliun
  • Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Rp5,06 triliun
  • penerimaan pajak lainnya Rp2,76 triliun.
Pendapatan pajak itu sudah termasuk pendapatan cukai Rp36,1 triliun, bea masuk Rp17,04 triliun dan pendapatan pungutan ekspor Rp398,1 miliar.
Total penerimaan pajak dalam lima tahun terakhir (2001-2005) sudah mencapai Rp1.040 triliun.
  • Pajak
  • Berdasarkan wujudnya, pajak dibedakan menjadi:
  1. Pajak langsung adalah pajak yang dibebankan secara langsung kepada wajib pajak seperti pajak pendapatan, pajak kekayaan.
  2. Pajak tidak langsung adalah pajak/pungutan wajib yang harus dibayarkan sebagai sumbangan wajib kepada negara yang secara tidak langsung dikenakan kepada wajib pajak seperti cukai rokok dan sebagainya.
  • Berdasarkan jumlah yang harus dibayarkan, pajak dibedakan menjadi:
  1. Pajak pendapatan adalah pajak yang dikenakan atas pendapatan tahunan dan laba dari usaha seseorang, perseroan terbatas/unit lain.
  2. Pajak penjualan adalah pajak yang dibayarkan pada waktu terjadinya penjualan barang/jasa yang dikenakan kepada pembeli.
  3. Pajak badan usaha adalah pajak yang dikenakan kepada badan usaha seperti perusahaan bank dan sebagainya.
  • Pajak berdasarkan pungutannya dapat dibedakan menjadi:
  1. Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak/pungutan yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat terhadap tanah dan bangunan kemudian didistrubusiakan kepada daerah otonom sebagai pendapatan daerah sendiri.
  2. Pajak perseroan adalah pungutan wajib atas laba perseroan/badan usaha lain yang modalnya/bagiannya terbagi atas saham–saham.
  3. Pajak siluman adalah pungutan secara tidak resmi/pajak gelap dan merupakan sumber korupsi.
  4. Pajak transit adalah pajak yang dipungut di tempat tertentu yang harus dilalui oleh pengangkutan orang/barang dari suatu tempat ke tempat lain.


Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak#Penerimaan_Pajak_di_Indonesia

Tentang Pajak

Pajak

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Definisi

Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
  • Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
  • Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public invesment.
  • Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privart kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''

Unsur pajak

Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut:
  1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."
  2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (konraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraantor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
  3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
  4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundag-undangan.
  5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).

Fungsi pajak

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
  • Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
  • Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
  • Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
  • Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.


Jenis Pajak

Di tinjau dari segi Lembaga Pemungut Pajak dapat di bagi menjadi dua jenis yaitu:

Pajak Negara

Sering disebut juga Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari:
  • Pajak Penghasilan
Diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun 2008
  • Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diubah terakhir kali dengan UU No. 42 Tahun 2009
  • Bea Materai
UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
  • Bea Masuk
UU No. 10 Tahun 1995 jo. UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan
  • Cukai
UU No. 11 Tahun 1995 jo. UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai


Pajak Daerah

Sesuai UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berikut jenis-jenis Pajak Daerah:
  • Pajak Provinsi terdiri dari:
  1. Pajak Kendaraan Bermotor;
  2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
  3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
  4. Pajak Air Permukaan; dan
  5. Pajak Rokok.
  • Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
  1. Pajak Hotel;
  2. Pajak Restoran;
  3. Pajak Hiburan;
  4. Pajak Reklame;
  5. Pajak Penerangan Jalan;
  6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
  7. Pajak Parkir;
  8. Pajak Air Tanah;
  9. Pajak Sarang Burung Walet;
  10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
  11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.




Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak

Barang Jasa Kena Pajak




PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 10/PMK.011/2008 TANGGAL 4 FEBRUARI 2008
TENTANG
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN GANDUM DAN TEPUNG GANDUM/TERIGU



MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
a.         bahwa dalam rangka menstabilkan harga pangan pokok berupa gandum dan tepung gandum/terigu yang bertujuan untuk meringankan beban masyarakat, perlu ditempuh kebijakan berupa Pajak Pertambahan Nilai ditanggung pemerintah atas impor dan/atau penyerahan gandum dan tepung gandum/terigu;
b.         bahwa untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dianggarkan subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 dan perubahannya;
c.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah atas Impor dan/atau Penyerahan Gandum dan Tepung Gandum/Terigu;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2.         Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
3.         Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4778);
4.         Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN GANDUM DAN TEPUNG GANDUM/TERIGU.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang dibayar oleh Pemerintah dengan pagu anggaran berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2008.

Pasal 2
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas impor dan/atau penyerahan dalam negeri gandum (Pos Tarif 1001.10.00.00) dan tepung gandum/terigu (Pos Tarif 1101.00.10.00) oleh Pengusaha Kena Pajak ditanggung Pemerintah.

Pasal 3
(1)        Permohonan untuk mendapatkan Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah atas impor gandum dan tepung gandum/terigu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diajukan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
(2)        Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selanjutnya membubuhkan cap "PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK-10/PMK.011/2008" pada Surat Setoran Pajak.
(3)        Direktur Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan Daftar Jumlah Pajak Ditanggung Pemerintah setiap triwulan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya triwulan.

Pasal 4
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan gandum dan tepung gandum/terigu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib membuat Faktur Pajak dengan membubuhkan cap "PPN DIBAYAR PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 10/PMK.011/2008".

Pasal 5
Direktur Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, dan Direktur Jenderal Perbendaharaan diinstruksikan untuk melaksanakan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 6
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) hari sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           4 Februari 2008

MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI




PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 14/PMK.011/2008 TANGGAL 4 FEBRUARI 2008
TENTANG
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DIBAYAR OLEH PEMERINTAH ATAS PENYERAHAN MINYAK GORENG CURAH DI DALAM NEGERI



MENTERI KEUANGAN,

Menimbang:
a.         bahwa dalam rangka meringankan beban masyarakat perlu melanjutkan kebijakan stabilisasi harga minyak goreng;
b.         bahwa dalam rangka melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dianggarkan subsidi minyak goreng dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 dan perubahannya;
c.         bahwa dan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Pertambahan Nilai Dibayar oleh Pemerintah atas Penyerahan Minyak Goreng Curah Di Dalam Negeri;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2.         Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
3.         Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4778);
4.         Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DIBAYAR OLEH PEMERINTAH ATAS PENYERAHAN MINYAK GORENG CURAH DI DALAM NEGERI.

Pasal 1
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan minyak goreng curah di dalam negeri oleh Pengusaha Kena Pajak dibayar oleh Pemerintah.

Pasal 2
Minyak goreng curah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah minyak goreng sawit curah dan tidak bermerek.

Pasal 3
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan minyak goreng curah di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib membuat Faktur Pajak dengan membubuhkan cap "PPN DIBAYAR PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 14/PMK.011/2008".

Pasal 4
Tata cara penatausahaan perpajakan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan ini diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 5
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.011/2007 tentang Pajak Pertambahan Nilai Dibayar oleh Pemerintah atas Penyerahan Minyak Goreng Curah di dalam Negeri, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 6
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           4 Februari 2008

MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI






PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 15/PMK.011/2008 TANGGAL 4 FEBRUARI 2008
TENTANG
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DIBAYAR OLEH PEMERINTAH ATAS PENYERAHAN MINYAK GORENG DALAM KEMASAN DI DALAM NEGERI



MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
a.         bahwa dalam rangka stabilisasi harga minyak goreng dalam kemasan di dalam negeri perlu menetapkan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai dibayar oleh Pemerintah atas penyerahan minyak goreng dalam kemasan di dalam negeri;
b.         bahwa dalam rangka melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dianggarkan subsidi minyak goreng dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 dan perubahannya;
c.         bahwa dan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Pertambahan Nilai Dibayar oleh Pemerintah atas Penyerahan Minyak Goreng Dalam Kemasan di Dalam Negeri;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2.         Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
3.         Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4778);
4.         Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DIBAYAR OLEH PEMERINTAH ATAS PENYERAHAN MINYAK GORENG DALAM KEMASAN DI DALAM NEGERI.

Pasal 1
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan minyak goreng dalam kemasan di dalam negeri oleh Pengusaha Kena Pajak dibayar oleh Pemerintah.

Pasal 2
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan minyak goreng dalam kemasan di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib membuat Faktur Pajak dengan membubuhkan cap "PPN DIBAYAR PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 15/PMK.011/2008".

Pasal 3
Tata cara penatausahaan perpajakan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan ini diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 4
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) hari sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           4 Februari 2008

MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI