PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 16/PMK.03/2010 TANGGAL 25 JANUARI 2010
TENTANG
TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA
UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA
YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 10
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal
21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas
Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan
Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262), sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4893);
3. PERATURAN PEMERINTAH nomor 68 TAHUN 2009 tentang Tarif Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 169, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5082);
4. Keputusan
Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA
PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON,
UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN
SEKALIGUS.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pegawai adalah orang pribadi dalam negeri yang menerima
penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan
jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus.
4. Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh
pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja
atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan
uang penggantian hak.
5. Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun
yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun oleh Dana
Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
6. Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan
sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang
telah mencapai usia pensiun.
7. Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan
sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang
pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain
yang ditentukan.
8. Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja adalah badan yang
ditunjuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon yang selanjutnya
membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi kerja pada saat
berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
9. Pemotong Pajak adalah pemberi kerja, Pengelola Dana Pesangon
Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan,
badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan lain yang membayar
Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa
Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua
yang dibayarkan sekaligus, dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
bersifat final.
(2) Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.
(3) Penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan
secara sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pembayaran sebanyak-banyaknya 20% (dua
puluh persen) dari manfaat pensiun yang dibayarkan secara sekaligus pada saat
Pegawai sebagai peserta pensiun atau meninggal dunia;
b. Pembayaran manfaat pensiun bulanan yang
lebih kecil dari suatu jumlah tertentu yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh
Menteri Keuangan yang dibayarkan secara sekaligus;
c. pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada
perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup.
(4) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), terutang pada saat dilakukan pembayaran Uang Pesangon,
Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan
sekaligus.
Pasal 3
(1) Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang
Pesangon ditentukan sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas
penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai
dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. sebesar 15% (lima belas persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
d. sebesar 25% (dua puluh lima persen)
atas penghasilan bruto di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterapkan atas jumlah kumulatif Uang Pesangon yang dibayarkan dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.
Pasal 4
(1) Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai
berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas
penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberlakukan atas jumlah kumulatif Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan dalam jangka waktu paling lama
2 (dua) tahun kalender.
Pasal 5
(1) Dalam hal terdapat bagian penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan
tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan
menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas
jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai
pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran
pajak pendahuluan atau kredit pajak.
(3) Dalam hal Pegawai tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak,
tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap
Pegawai yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 6
(1) Dalam
hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola
Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang
Pesangon.
(2) Atas pengalihan Uang Pesangon kepada Pengelola Dana Pesangon
Tenaga Kerja melalui pembayaran secara sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(3) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dipotong oleh pemberi kerja.
(4) Pada saat Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) membayar Uang Pesangon kepada Pegawai, tidak dilakukan
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21.
Pasal 7
(1) Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara
bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai
dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon.
(2) Atas pengalihan Uang Pesangon kepada Pengelola Dana Pesangon
Tenaga Kerja melalui pembayaran secara bertahap atau berkala sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat
final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(3) Pada saat Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) membayar Uang Pesangon kepada Pegawai, dilakukan
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final oleh Pengelola Dana
Pesangon Tenaga Kerja.
Pasal 8
(1) Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada
perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup,
Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima hak atas Uang Manfaat Pensiun
yang dibayarkan secara sekaligus.
(2) Atas pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi
jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun
Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas seumur hidup.
(4) Pada saat perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) membayar Uang Manfaat Pensiun kepada Pegawai, tidak dilakukan
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21.
Pasal 9
(1) Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan
melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua untuk setiap Masa
Pajak.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong Pajak
untuk setiap Masa Pajak wajib disetor ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan, paling lama 10 (sepuluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
(3) Pemotong Pajak wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran
Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui
penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar, paling lama 20 (dua puluh)
hari setelah Masa Pajak berakhir.
(4) Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran Pajak Penghasilan
Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan batas akhir pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertepatan dengan hari
libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dan pelaporan
Pajak Penghasilan Pasal 21 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
(5) Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya
pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
(6) Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kewajiban memberikan bukti pemotongan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tetap dilakukan terhadap Pegawai yang
dikenai tarif pemotongan sebesar 0% (nol persen).
(7) Apabila dalam 1 (satu) Masa Pajak, kepada satu Pegawai
dilakukan lebih dari 1 (satu) kali pembayaran penghasilan, bukti pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6)
dapat dibuat sekali untuk 1 (satu) Masa Pajak.
Pasal 10
Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini,
pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun
atau Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
1. Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun atau Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang diperoleh Pegawai
sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini dan pembayarannya dilakukan
sejak tanggal 16 November 2009, berlaku ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor
149 Tahun 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan
Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan
Hari Tua;
2. Tata Cara pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana
tersebut pada angka 1, berlaku Keputusan Menteri Keuangan Nomor 112/KMK.03/2001
tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang
Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua;
3. Saat diperolehnya penghasilan berupa uang pesangon, uang
tebusan pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan
hari tua sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah pada saat Pegawai berhenti
bekerja.
Pasal 11
Tata cara penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua,
atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dengan menggunakan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat
(1), sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri
Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri Keuangan ini.
Pasal 12
Pada saat berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini,
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 112/KMK.03/2001 Tentang Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan
Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 13
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal 16 November 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 25 Januari 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 2010
MENTERI HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 33
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR /PMK.03/
TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN
BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN
HARI TUA YANG
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
CONTOH PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PENGHASILAN
BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN
JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS
1. Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 atas Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan
sekaligus
Pirman Nurjaman bekerja sebagai pegawai tetap pada PT
Asgar Manah sejak tahun 1980. PT Asgar Manah telah mengikutkan program pensiun
untuk seluruh pegawainya dengan membentuk Dana Pensiun PT Asgar Manah. Pada
bulan Januari 2010, Pirman Nurjaman terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
menerima pembayaran Uang Pesangon sebesar Rp600.000.000,00 dari PT Asgar Manah.
Selain itu, Pirman Nurjaman berhak atas manfaat
pensiun sebesar Rp 300.000.000,00 dari Dana Pensiun PT Asgar Manah. Pirman
Nurjaman meminta pembayaran sekaligus atas manfaat pensiun sebesar 20% dari
manfaat pensiun dan sisanya (80% dari manfaat pensiun) dibayarkan secara
bulanan. Dana Pensiun PT Asgar Manah membayarkan Uang Manfat Pensiun yang
dibayarkan sekaligus sebesar 20% x Rp300.000.000,00 = Rp 60.000.000,00.
Penghitungan
PPh Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon:
0%
x Rp50.000.000,00 = Rp 0,00
5%
x Rp50.000.000,00 = Rp
2.500.000,00
15%
x Rp400.000.000,00 = Rp 60.000.000,00
25%
x Rp100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
----------------------
(+)
Jumlah Rp
87.500.000,00
Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang atas 20% dari
manfaat pensiun yang dibayarkan secara sekaligus:
0%
x Rp50.000.000,00 = Rp
0,00
5%
x Rp10.000.000,00 = Rp
500.000,00
----------------------
(+)
Jumlah Rp 500.000,00
Sedangkan penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
pembayaran 80% dari manfaat pensiun yang dibayarkan secara bulanan berlaku
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi.
2. Contoh
Penghitungan PPh Pasal 21 atas Uang Pesangon yang Dibayarkan Secara Bertahap
Apabila PT Asgar Manah melakukan pembayaran Uang
Pesangon kepada Pirman Nurjaman secara bertahap dengan jadwal pembayaran
sebagai berikut:
a. Bulan Januari 2010 Rp240.000.000,00
b. Bulan Januari 2011 Rp120.000.000,00
c. Bulan Juli 2011 Rp120.000.000,00
d. Bulan Januari 2012 Rp120.000.000,00
maka
Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang:
a. Bulan Januari 2010:
0%
x Rp50.000.000,00 = Rp 0,00
5%
x Rp50.000.000,00 = Rp
2.500.000,00
15%
x Rp140.000.000,00 = Rp21.000.000,00
----------------------
(+)
Rp23.500.000,00
b. Bulan Januari 2011:
15%
x Rp120.000.000,00 = Rp18.000.000,00
c. Bulan Juli 2011:
15%
x Rp120.000.000,00 = Rp18.000.000,00
d. Bulan Januari 2012:
Oleh karena pembayaran Uang Pesangon sudah memasuki
tahun ketiga maka tarif PPh Pasal 21 untuk Uang Pesangon yang dibayarkan pada
bulan Januari 2012 adalah Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan dan Pemotongan PPh 21 pada bulan Januari 2012 tidak bersifat Final.
Penghitungan
PPh Pasal 21 untuk Bulan Januari 2012:
5%
x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00
15%
x Rp70.000.000,00 = Rp10.500.000,00
----------------------
(+)
Jumlah Rp13.000.000,00
_____________________________________________________________________________________
Salinan sesuai dengan aslinya, MENTERI KEUANGAN,
Kepala Biro Umum ttd
u.b. SRI
MULYANI INDRAWATI
Kepala Bagian T.U. Departemen
ttd
Antonius Suharto
NIP 060041107
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR 39/PJ/2008
TANGGAL 6 OKTOBER 2008
TENTANG
SURAT PEMBERITAHUAN
TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN 2008 BESERTA PETUNJUK PENGISIANNYA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
Bahwa dalam rangka
memberi kepastian hukum serta meningkatkan pelayanan dan kemudahan kepada Wajib
Pajak perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun 2008 Beserta Petunjuk
Pengisiannya;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 TAHUN 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
2. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-545/PJ/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, Dan
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan,
Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
PAJAK TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN 2008
BESERTA PETUNJUK PENGISIANNYA.
Pasal 1
Setiap Pemotong Pajak
wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak
terdaftar.
Pasal 2
Formulir Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 beserta Petunjuk Pengisiannya untuk Tahun 2008 adalah sebagaimana
tercantum dalam lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 3
Pada saat Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-81/PJ./2007 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak Badan, Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Orang Pribadi, dan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun
2007 beserta Petunjuk Pengisiannya, tetap berlaku sepanjang digunakan untuk
pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun 2007.
Pasal 4
Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 6
Oktober 2008
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
ttd
DARMIN NASUTION
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 43/PMK.03/2009
TANGGAL 3 MARET 2009
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN
PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA KATEGORI USAHA
TERTENTU
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2009 beserta Penjelasannya diatur bahwa dalam keadaan
darurat, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR-RI) yang dituangkan dalam Kesimpulan Rapat Kerja Panitia
Anggaran DPR-RI dengan Pemerintah dapat melakukan langkah-langkah berupa
penetapan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya atau pengeluaran melebihi
pagu yang ditetapkan dalam APBN Tahun 2009;
b. bahwa dalam rangka mengurangi dampak
krisis global yang berakibat pada penurunan kegiatan perekonomian nasional dan
untuk mendorong peningkatan daya beli masyarakat pekerja, Pemerintah telah
mengusulkan kepada DPR-RI upaya mengatasi dampak krisis global melalui program
stimulus fiskal;
c. bahwa berdasarkan Kesimpulan Rapat
Kerja Panitia Anggaran DPR-RI dengan Pemerintah pada tanggal 23 dan 24 Februari
2009 dengan mendasarkan pada ketentuan sebagaimana tersebut pada huruf a,
DPR-RI telah menyetujui penetapan pagu anggaran dalam rangka pemberian stimulus
fiskal berupa Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung oleh Pemerintah sesuai
usulan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada huruf b;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan
Pekerja Pada Kategori Usaha Tertentu;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 171, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4920);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun
2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN TENTANG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS
PENGHASILAN PEKERJA PADA KATEGORI USAHA TERTENTU.
Pasal 1
Pajak Penghasilan
Pasal 21 yang ditanggung Pemerintah ditetapkan paling banyak sebesar pagu
anggaran Pajak Penghasilan Pasal 21 berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 dan
perubahannya.
Pasal 2
Pajak Penghasilan
Pasal 21 ditanggung Pemerintah diberikan kepada pekerja yang bekerja pada pemberi
kerja yang berusaha pada kategori usaha tertentu, dengan jumlah penghasilan
bruto di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak dan tidak lebih dari Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah) dalam satu bulan.
Pasal 3
Kategori usaha
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. kategori usaha pertanian termasuk
perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan;
b. kategori usaha perikanan; dan
c. kategori usaha industri pengolahan,
yang rinciannya
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 4
Pajak Penghasilan
Pasal 21 ditanggung Pemerintah wajib dibayarkan secara tunai pada saat
pembayaran penghasilan oleh pemberi kerja kepada pekerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 sebesar Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan
pekerja.
Pasal 5
Ketentuan lebih
lanjut mengenai pelaksanaan pemberian Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung
Pemerintah atas penghasilan pekerja pada pemberi kerja yang berusaha pada
kategori usaha tertentu, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 6
Peraturan Menteri
Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan sampai dengan tanggal 31
Desember 2009.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 3
Maret 2009
MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 49/PMK.03/2009
TANGGAL 18 MARET 2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 43/PMK.03/2009 TENTANG PAJAK PENGHASILAN PASAL
21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA KATEGORI USAHA TERTENTU
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak khususnya pekerja untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak,
pemberian Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah hanya diberikan
kepada pekerja yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009 tentang
Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan Pekerja Pada
Kategori Usaha Tertentu;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 171, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4920);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun
2005;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
43/PMK.03/2009 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Atas
Penghasilan Pekerja Pada Kategori Usaha Tertentu;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 43/PMK.03/2009
TENTANG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN
PEKERJA PADA KATEGORI USAHA TERTENTU.
Pasal I
Di antara Pasal 2 dan
Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 2A
(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah diberikan kepada pekerja yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Masa Pajak Juni 2009, sedangkan mulai Masa
Pajak Juli 2009 hanya diberikan kepada pekerja yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21
Ditanggung Pemerintah yang diterima pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah sebesar pajak terutang berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan dan tidak termasuk kenaikan tarif pajak sebesar 20% lebih tinggi
bagi pekerja yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (5a) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(3) Dalam hal setelah Masa Pajak Juni 2009
pekerja belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, Pajak Penghasilan Pasal 21
Ditanggung Pemerintah hanya diberikan sejak Masa Pajak setelah pekerja yang
bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal II
Peraturan Menteri
Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 18
Maret 2009
MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 68 TAHUN 2009
TANGGAL 16 NOPEMBER 2009
TENTANG
TARIF PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT
PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dengan dilakukan perubahan
terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan tarif Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat
pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21
ayat (5) UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan
Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan
Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1903
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH
TENTANG TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON,
UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN
SEKALIGUS.
Pasal 1
Dalam Peraturan
Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak
atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pegawai adalah orang pribadi dalam
negeri yang menerima penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus.
4. Uang Pesangon adalah penghasilan yang
dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja
kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan
berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
5. Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan
dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun
secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana
pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
6. Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan
yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada
orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun.
7. Jaminan Hari Tua adalah penghasilan
yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja
kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau
keadaan lain yang ditentukan.
8. Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja
adalah badan yang ditunjuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon
yang selanjutnya membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi
kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
9. Pemotong Pajak adalah pemberi kerja,
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana
Pensiun Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan
badan lain yang membayar Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, dan Jaminan Hari Tua.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
(2) Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau
seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun
kalender.
Pasal 3
(1) Pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai
dapat dilakukan secara langsung oleh pemberi kerja atau dialihkan kepada
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.
(2) Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang
Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai
dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon.
(3) Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang
Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga
Kerja, Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon.
(4) Dalam hal terjadi pengalihan Uang
Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun
membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima
hak atas Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus.
Pasal 4
Tarif Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai
berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas
penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai
dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. sebesar 15% (lima belas persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
d. sebesar 25% (dua puluh lima persen)
atas penghasilan bruto di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 5
Tarif Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas
penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 6
(1) Dalam hal terdapat bagian penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang terutang atau dibayarkan pada
tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan
kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dan dapat
diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.
(3) Atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan Pasal 21 ayat (5a) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal 7
(1) Pemotong Pajak wajib menghitung,
memotong, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang
atas Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari
Tua.
(2) Pemotong Pajak wajib memberikan bukti
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat
dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang
Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
(3) Kewajiban menghitung, memotong,
menyetorkan, dan melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kewajiban
memberikan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap dilakukan
terhadap Pegawai yang dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 0% (nol
persen).
Pasal 8
(1) Dalam hal pembayaran Uang Pesangon
dialihkan oleh pemberi kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja dengan
pembayaran secara sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh pemberi kerja pada saat
pengalihan Uang Pesangon.
(2) Dalam hal pembayaran Uang Pesangon
dialihkan oleh pemberi kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja dengan
pembayaran secara bertahap atau berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3), pemberi kerja tidak melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
pengalihan Uang Pesangon tersebut.
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
atas Uang Pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pengelola
Dana Pesangon Tenaga Kerja pada saat pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai.
Pasal 9
Dalam hal terjadi
pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan
pada saat pembelian anuitas seumur hidup.
Pasal 10
Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan
Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
Pasal 11
Pada saat Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku, pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas uang
pesangon, uang tebusan pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua yang diperoleh Pegawai sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah ini dan pembayarannya dilakukan setelah Peraturan Pemerintah ini
berlaku, berlaku ketentuan Peraturan Pemerintah nomor 149 TAHUN 2000 tentang
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon,
Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.
Pasal 12
Pada saat Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah nomor 149 TAHUN 2000 tentang
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon,
Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4067), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Peraturan Pemerintah
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Rupublik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 16
November 2009
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 16
November 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 169
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 68 TAHUN 2009
TENTANG
TARIF PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG
PESANGON, UANG
MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN
HARI TUA YANG
DIBAYARKAN SEKALIGUS
I. UMUM
Dengan diundangkannya UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi sehingga perlu
dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai tarif Pajak Penghasilan Pasal
21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, dan Jaminan Hari Tua yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Pemerintah
nomor 149 TAHUN 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua,
atau Jaminan Hari Tua.
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat
(5) UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pemotongan
atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama
dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan lain yang berbeda
dengan tarif pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Materi pokok yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat
final, penetapan besaran tarif pajak, dan pemotongan terhadap penghasilan
berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan
Hari Tua.
Penghasilan berupa Uang Pesangon,
Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan
sekaligus pada umumnya jumlahnya relatif besar dibandingkan penghasilan rutin
yang diterima sebelumnya. Dengan penerapan tarif progresif yang lebih rendah
dari ketentuan umum tarif Pajak Penghasilan maka manfaat yang djperoleh menjadi
lebih besar dan memberikan keringanan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian
hukum.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Karena
alasan keuangan, pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua atau Jaminan Hari Tua yang seharusnya dibayarkan sekaligus, dilakukan dalam
beberapa kali pembayaran. Pembayaran dalam beberapa kali pembayaran sepanjang
dilakukan dalam waktu 2 (dua) tahun kalender dianggap sebagai pembayaran secara
sekaligus, dan dihitung sebagai satu kesatuan untuk pengenaan pajaknya.
Pasal 3
Ayat (1)
Pada
dasarnya kewajiban pembayaran Uang Pesangon dilakukan oleh pemberi kerja kepada
pegawainya pada saat terjadi pemutusan hubungan kerja. Namun ada kalanya,
kewajiban pembayaran Uang Pesangon tersebut dialihkan kepada Pengelola Dana
Pesangon Tenaga Kerja melalui pengalihan dana pesangon secara sekaligus atau
secara bertahap atau berkala.
Ayat (2)
Apabila
pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana
Pesangon Tenaga Kerja, maka Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang
Pesangon, sehingga pemberi kerja sudah mempunyai kewajiban pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 pada saat pengalihan tersebut.
Ayat (3)
Dalam hal
pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, maka
Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon, sehingga pemberi kerja
tidak mempunyai kewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 pada saat
pengalihan tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 4
Dengan memperhatikan
bahwa besarnya Uang Pesangon dikaitkan dengan masa kerja dan besarnya upah atau
penghasilan yang diterima setiap bulan, maka tarif Pajak Penghasilan Pasal 21
yang dikenai bersifat progresif. Namun untuk memberikan keadilan, kemudahan,
dan kepastian hukum bagi Pegawai yang menerimanya, lapisan tarif progresif yang
diberlakukan berbeda dengan lapisan tarif yang ditentukan dalam Pasal 17 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Contoh perhitungan Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan berupa Uang Pesangon dengan
jumlah Rp175.000.000,00.
Penghasilan bruto Rp
175.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal
21 terutang:
0% x Rp50.000.000,00 = Rp
0,00
5% x Rp50.000.000,00 = Rp
2.500.000,00
15% x Rp75.000.000,00 = Rp11.250.000,00
(+)
--------------------------
Rp13.750.000,00
Dalam hal pembayaran
Uang Pesangon dalam contoh tersebut di atas dilakukan dalam beberapa kali
pembayaran, misalnya:
a. Bulan Desember 2009 Rp 50.000.000,00
b. Bulan April 2010 Rp 125.000.000,00 (+)
-----------------------------
Jumlah Rp
175.000.000,00
Perhitungan pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 didasarkan pada jumlah pembayaran sebagai satu
kesatuan, yaitu sebesar Rp 175.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal
21 yang harus dipotong:
Bulan Desember 2009:
Jumlah penghasilan bruto Rp 50.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal
21 terutang:
0% x Rp50.000.000,00 = Rp0,00
Bulan April 2010:
Jumlah penghasilan bruto Rp125.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal
21 terutang:
5% x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500,000,00
15% x Rp75.000.000,00 = Rp11.250.000,00 (+)
--------------------------
Jumlah Rp
13.750.000,00
Jumlah seluruh Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang dipotong : Rp0,00 + Rp 13.750.000,00 =
Rp13.750.000,00.
Pasal 5
Berdasarkan pertimbangan
bahwa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang
dibayarkan sekaligus merupakan nilai tunai atas Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan secara berkala untuk jangka
waktu yang cukup lama, maka penghasilan yang diterima sekaligus tersebut pada
dasarnya penghasilan yang seharusnya diterima untuk beberapa tahun pajak.
Dengan memperhatikan besarnya Uang Manfaat Pensiun yang berlaku saat ini pada
umumnya, maka penghasilan sekaligus tersebut jika dialokasikan dalam beberapa
tahun masih berlaku tarif terendah yaitu sebesar 5% (lima persen). Ketentuan
ini diberikan untuk memberikan keadilan, kemudahan, kesederhanaan, dan
kepastian hukum bagi penerima pensiun yang sudah masuk dalam usia tidak
produktif.
Untuk memberikan
perlakuan yang sama dengan Uang Pesangon, maka atas jumlah sampai dengan
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dikenai tarif 0% (nol person).
Contoh perhitungan
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas pembayaran Jaminan
Hari Tua yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp150.000.000,00 adalah:
Jaminan Hari Tua yang
dibayarkan sekaligus Rp150.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal
21 yang terutang:
0% x Rp 50.000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp 100.000.000,00 = Rp5.000.000,00
= --------------------
Jumlah = Rp5.000.000,00
Dalam
hal jumlah pembayaran uang Jaminan Hari Tua tersebut di atas dibayarkan dalam
beberapa kali pembayaran, misalnya:
Bulan Desember 2009
sebesar Rp 50.000.000,00
Bulan Februari 2010
sebesar Rp 100.000.000,00
---------------------
Jumlah Rp
150.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal
21 yang harus dipotong adalah sebagai berikut:
Bulan Desember 2009:
0% x Rp50.000.000,00 = Rp 0,00
Bulan Februari 2010:
5% x Rp100.000.000,00 = Rp5.000.000,00
--------------------
Jumlah = Rp5.000.000,00
Pasal 6
Ayat (1)
Misalkan
pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau
Jaminan Hari Tua yang seharusnya dilakukan sekaligus, namun masih dilakukan
bagian pembayaran pada tahun ketiga sebesar Rp50.000.000,00, jika kepada Wajib
Pajak orang pribadi yang bersangkutan dalam tahun tersebut hanya dibayarkan penghasilan
tersebut, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong dihitung dengan
menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas
jumlah bruto tersebut, yaitu sebesar 5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penerima
penghasilan sebagaimana contoh penjelasan ayat (1) yang tidak mempunyai Nomor
Pokok Wajib Pajak, maka Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong sebesar
120% x 5% x Rp50.000.000,00 = Rp3.000.000,00.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bukti
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 wajib dibuat meskipun jumlah Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang terutang nihil, karena dikenai tarif 0% (nol persen).
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5082
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 68 TAHUN 2009
TANGGAL 16 NOPEMBER 2009
TENTANG
TARIF PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT
PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dengan dilakukan perubahan
terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan tarif Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat
pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21
ayat (5) UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan
Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan
Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1903
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH
TENTANG TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON,
UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN
SEKALIGUS.
Pasal 1
Dalam Peraturan
Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak
atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pegawai adalah orang pribadi dalam
negeri yang menerima penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus.
4. Uang Pesangon adalah penghasilan yang
dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja
kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan
berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
5. Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan
dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun
secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana
pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
6. Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan
yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada
orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun.
7. Jaminan Hari Tua adalah penghasilan
yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja
kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau
keadaan lain yang ditentukan.
8. Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja
adalah badan yang ditunjuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon
yang selanjutnya membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi
kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
9. Pemotong Pajak adalah pemberi kerja,
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana
Pensiun Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan
badan lain yang membayar Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, dan Jaminan Hari Tua.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
(2) Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau
seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun
kalender.
Pasal 3
(1) Pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai
dapat dilakukan secara langsung oleh pemberi kerja atau dialihkan kepada
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.
(2) Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang
Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai
dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon.
(3) Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang
Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga
Kerja, Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon.
(4) Dalam hal terjadi pengalihan Uang
Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun
membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima
hak atas Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus.
Pasal 4
Tarif Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai
berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas
penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai
dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. sebesar 15% (lima belas persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
d. sebesar 25% (dua puluh lima persen)
atas penghasilan bruto di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 5
Tarif Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas
penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 6
(1) Dalam hal terdapat bagian penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang terutang atau dibayarkan pada
tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan
kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dan dapat
diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.
(3) Atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan Pasal 21 ayat (5a) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal 7
(1) Pemotong Pajak wajib menghitung,
memotong, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang
atas Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari
Tua.
(2) Pemotong Pajak wajib memberikan bukti
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat
dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang
Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
(3) Kewajiban menghitung, memotong,
menyetorkan, dan melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kewajiban
memberikan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap dilakukan
terhadap Pegawai yang dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 0% (nol
persen).
Pasal 8
(1) Dalam hal pembayaran Uang Pesangon
dialihkan oleh pemberi kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja dengan
pembayaran secara sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh pemberi kerja pada saat
pengalihan Uang Pesangon.
(2) Dalam hal pembayaran Uang Pesangon
dialihkan oleh pemberi kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja dengan
pembayaran secara bertahap atau berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3), pemberi kerja tidak melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
pengalihan Uang Pesangon tersebut.
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
atas Uang Pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pengelola
Dana Pesangon Tenaga Kerja pada saat pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai.
Pasal 9
Dalam hal terjadi
pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan
pada saat pembelian anuitas seumur hidup.
Pasal 10
Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan
Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
Pasal 11
Pada saat Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku, pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas uang
pesangon, uang tebusan pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua yang diperoleh Pegawai sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah ini dan pembayarannya dilakukan setelah Peraturan Pemerintah ini
berlaku, berlaku ketentuan Peraturan Pemerintah nomor 149 TAHUN 2000 tentang
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon,
Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.
Pasal 12
Pada saat Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah nomor 149 TAHUN 2000 tentang
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon,
Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4067), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Peraturan Pemerintah
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Rupublik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 16
November 2009
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 16
November 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 169
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 68 TAHUN 2009
TENTANG
TARIF PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG
PESANGON, UANG
MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN
HARI TUA YANG
DIBAYARKAN SEKALIGUS
I. UMUM
Dengan diundangkannya UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi sehingga perlu
dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai tarif Pajak Penghasilan Pasal
21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, dan Jaminan Hari Tua yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Pemerintah
nomor 149 TAHUN 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua,
atau Jaminan Hari Tua.
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat
(5) UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pemotongan
atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama
dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan lain yang berbeda
dengan tarif pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Materi pokok yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat
final, penetapan besaran tarif pajak, dan pemotongan terhadap penghasilan
berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan
Hari Tua.
Penghasilan berupa Uang Pesangon,
Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan
sekaligus pada umumnya jumlahnya relatif besar dibandingkan penghasilan rutin
yang diterima sebelumnya. Dengan penerapan tarif progresif yang lebih rendah
dari ketentuan umum tarif Pajak Penghasilan maka manfaat yang djperoleh menjadi
lebih besar dan memberikan keringanan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian
hukum.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Karena
alasan keuangan, pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua atau Jaminan Hari Tua yang seharusnya dibayarkan sekaligus, dilakukan dalam
beberapa kali pembayaran. Pembayaran dalam beberapa kali pembayaran sepanjang
dilakukan dalam waktu 2 (dua) tahun kalender dianggap sebagai pembayaran secara
sekaligus, dan dihitung sebagai satu kesatuan untuk pengenaan pajaknya.
Pasal 3
Ayat (1)
Pada
dasarnya kewajiban pembayaran Uang Pesangon dilakukan oleh pemberi kerja kepada
pegawainya pada saat terjadi pemutusan hubungan kerja. Namun ada kalanya,
kewajiban pembayaran Uang Pesangon tersebut dialihkan kepada Pengelola Dana
Pesangon Tenaga Kerja melalui pengalihan dana pesangon secara sekaligus atau
secara bertahap atau berkala.
Ayat (2)
Apabila
pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana
Pesangon Tenaga Kerja, maka Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang
Pesangon, sehingga pemberi kerja sudah mempunyai kewajiban pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 pada saat pengalihan tersebut.
Ayat (3)
Dalam hal
pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, maka
Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon, sehingga pemberi kerja
tidak mempunyai kewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 pada saat
pengalihan tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 4
Dengan memperhatikan
bahwa besarnya Uang Pesangon dikaitkan dengan masa kerja dan besarnya upah atau
penghasilan yang diterima setiap bulan, maka tarif Pajak Penghasilan Pasal 21
yang dikenai bersifat progresif. Namun untuk memberikan keadilan, kemudahan,
dan kepastian hukum bagi Pegawai yang menerimanya, lapisan tarif progresif yang
diberlakukan berbeda dengan lapisan tarif yang ditentukan dalam Pasal 17 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Contoh perhitungan Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan berupa Uang Pesangon dengan
jumlah Rp175.000.000,00.
Penghasilan bruto Rp
175.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal
21 terutang:
0% x Rp50.000.000,00 = Rp
0,00
5% x Rp50.000.000,00 = Rp
2.500.000,00
15% x Rp75.000.000,00 = Rp11.250.000,00
(+)
--------------------------
Rp13.750.000,00
Dalam hal pembayaran
Uang Pesangon dalam contoh tersebut di atas dilakukan dalam beberapa kali
pembayaran, misalnya:
a. Bulan Desember 2009 Rp 50.000.000,00
b. Bulan April 2010 Rp 125.000.000,00 (+)
-----------------------------
Jumlah Rp
175.000.000,00
Perhitungan pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 didasarkan pada jumlah pembayaran sebagai satu
kesatuan, yaitu sebesar Rp 175.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal
21 yang harus dipotong:
Bulan Desember 2009:
Jumlah penghasilan bruto Rp 50.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal
21 terutang:
0% x Rp50.000.000,00 = Rp0,00
Bulan April 2010:
Jumlah penghasilan bruto Rp125.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal
21 terutang:
5% x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500,000,00
15% x Rp75.000.000,00 = Rp11.250.000,00 (+)
--------------------------
Jumlah Rp
13.750.000,00
Jumlah seluruh Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang dipotong : Rp0,00 + Rp 13.750.000,00 =
Rp13.750.000,00.
Pasal 5
Berdasarkan pertimbangan
bahwa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang
dibayarkan sekaligus merupakan nilai tunai atas Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan secara berkala untuk jangka
waktu yang cukup lama, maka penghasilan yang diterima sekaligus tersebut pada
dasarnya penghasilan yang seharusnya diterima untuk beberapa tahun pajak.
Dengan memperhatikan besarnya Uang Manfaat Pensiun yang berlaku saat ini pada
umumnya, maka penghasilan sekaligus tersebut jika dialokasikan dalam beberapa
tahun masih berlaku tarif terendah yaitu sebesar 5% (lima persen). Ketentuan
ini diberikan untuk memberikan keadilan, kemudahan, kesederhanaan, dan
kepastian hukum bagi penerima pensiun yang sudah masuk dalam usia tidak
produktif.
Untuk memberikan
perlakuan yang sama dengan Uang Pesangon, maka atas jumlah sampai dengan
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dikenai tarif 0% (nol person).
Contoh perhitungan
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas pembayaran Jaminan
Hari Tua yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp150.000.000,00 adalah:
Jaminan Hari Tua yang
dibayarkan sekaligus Rp150.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal
21 yang terutang:
0% x Rp 50.000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp 100.000.000,00 = Rp5.000.000,00
= --------------------
Jumlah = Rp5.000.000,00
Dalam
hal jumlah pembayaran uang Jaminan Hari Tua tersebut di atas dibayarkan dalam
beberapa kali pembayaran, misalnya:
Bulan Desember 2009
sebesar Rp 50.000.000,00
Bulan Februari 2010
sebesar Rp 100.000.000,00
---------------------
Jumlah Rp
150.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal
21 yang harus dipotong adalah sebagai berikut:
Bulan Desember 2009:
0% x Rp50.000.000,00 = Rp 0,00
Bulan Februari 2010:
5% x Rp100.000.000,00 = Rp5.000.000,00
--------------------
Jumlah = Rp5.000.000,00
Pasal 6
Ayat (1)
Misalkan
pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau
Jaminan Hari Tua yang seharusnya dilakukan sekaligus, namun masih dilakukan
bagian pembayaran pada tahun ketiga sebesar Rp50.000.000,00, jika kepada Wajib
Pajak orang pribadi yang bersangkutan dalam tahun tersebut hanya dibayarkan penghasilan
tersebut, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong dihitung dengan
menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas
jumlah bruto tersebut, yaitu sebesar 5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penerima
penghasilan sebagaimana contoh penjelasan ayat (1) yang tidak mempunyai Nomor
Pokok Wajib Pajak, maka Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong sebesar
120% x 5% x Rp50.000.000,00 = Rp3.000.000,00.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bukti
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 wajib dibuat meskipun jumlah Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang terutang nihil, karena dikenai tarif 0% (nol persen).
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5082
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 80 TAHUN 2010
TANGGAL 20 DESEMBER 2010
TENTANG
TARIF PEMOTONGAN DAN
PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA
DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu mengatur kembali tarif
pemotongan dan pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara,
Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dan Pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994
tentang Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas Penghasilan
yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat
(5) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tarif Pemotongan dan
Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH
TENTANG TARIF PEMOTONGAN DAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS
PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH.
Pasal 1
Dalam Peraturan
Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak
atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pejabat Negara adalah Pejabat Negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
4. Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya
disingkat PNS, adalah PNS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok
Kepegawaian.
5. Anggota Tentara Nasional Indonesia,
yang selanjutnya disebut Anggota TNI adalah anggota TNI sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
6. Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, yang selanjutnya disebut anggota POLRI adalah anggota POLRI
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
7. Pensiunan adalah orang pribadi yang
menerima atau memperoleh imbalan atas pekerjaan yang dilakukan di masa lalu
sebagai Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI, termasuk janda
atau duda dan/atau anak-anaknya.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan
negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
9. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan
daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 2
(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang
atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau
APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau APBD.
(2) Penghasilan tetap dan teratur setiap
bulan yang menjadi beban APBN atau APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:
a. Pejabat
Negara, untuk:
1) gaji dan tunjangan lain yang sifatnya
tetap dan teratur setiap bulan; atau
2) imbalan tetap sejenisnya
yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI,
untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang
ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. Pensiunan, untuk uang pensiun dan
tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(3) Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17
ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah penghasilan bruto
setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan
Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Pasal 3
(1) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak,
atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang dibebankan pada APBN atau
APBD dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua
puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pejabat Negara, PNS,
Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak.
(2) Tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21
sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipotong dari
penghasilan yang diterima Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan
Pensiunannya.
(3) Pemotongan atas tambahan Pajak
Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada saat
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dibayarkan.
Pasal 4
(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang
atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN
atau APBD, dipotong oleh bendahara pemerintah yang membayarkan honorarium atau
imbalan lain tersebut.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bersifat final dengan tarif:
a. sebesar
0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS
Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat
Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
b. sebesar 5% (lima persen) dari jumlah
bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan
Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari
jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi Pejabat Negara, PNS Golongan IV,
Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira
Tinggi, dan Pensiunannya.
Pasal 5
Dalam hal PNS,
Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya diangkat sebagai pimpinan dan/atau
anggota pada lembaga yang tidak termasuk sebagai Pejabat Negara, atas
penghasilan yang menjadi beban APBN atau APBD terkait dengan kedudukannya
sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lembaga tersebut dikenai pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan
tidak ditanggung oleh Pemerintah.
Pasal 6
(1) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, menerima atau memperoleh penghasilan lain
yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final di luar penghasilan tetap
dan teratur yang menjadi beban APBN atau APBD, penghasilan lain tersebut
digunggungkan dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi yang
bersangkutan.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
ditanggung oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan
tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh
penghasilan yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 7
Ketentuan mengenai
tata cara pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS,
Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya atas penghasilan yang menjadi
beban APBN atau APBD diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 8
Pada saat Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah nomor 45 TAHUN 1994 tentang
Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang
Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3577), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Peraturan Pemerintah
ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2011.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 20
Desember 2010
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
Diundangkan di
Jakarta
Pada tanggal 20
Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 140
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 80 TAHUN 2010
TENTANG
TARIF PEMOTONGAN DAN
PENGENAAN
PAJAK PENGHASILAN
PASAL 21 ATAS PENGHASILAN
YANG MENJADI BEBAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
ATAU ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
I. UMUM
Dengan diundangkannya UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN
1983 tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi sehingga perlu
dilakukan penyesuaian ketentuan mengenai tarif pemotongan dan pengenaan pajak
penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara
Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan
Pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang sebelumnya
diatur dengan Peraturan Pemerintah nomor 45 TAHUN 1994 tentang Pajak
Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang
Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah.
Berdasarkan ketentuan
Pasal 21 ayat (5) UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat
atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif
pemotongan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan lain
yang berbeda dengan tarif pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Terhadap penghasilan
berupa gaji dan tunjangan lain atau uang pensiun dan tunjangan lain yang
bersifat tetap dan teratur setiap bulan yang dibebankan dalam APBN atau APBD
yang besarnya ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, yang
diterima oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan
Pensiunannya, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang ditanggung oleh
pemerintah.
Sedangkan atas
penghasilan selain gaji dan tunjangan lain atau uang pensiun dan tunjangan lain
yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan atau imbalan tetap sejenisnya
berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN
atau APBD, dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
Pengenaan tarif Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final kepada golongan kepangkatan tertentu
bagi PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI dan Pensiunannya merupakan insentif.
Pengenaan pajak yang
bersifat final dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan
administrasi bagi fiskus, bendahara pemerintah sebagai pemotong pajak dan Wajib
Pajak orang pribadi yang dipotong pajak.
Dalam rangka
melaksanakan kewajiban untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak maka bagi Pejabat
Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang tidak memiliki
NPWP, atas penghasilan berupa gaji dan tunjangan lain atau uang pensiun dan
tunjangan lain yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan atau imbalan tetap
sejenisnya dikenai pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif 20% lebih tinggi yang
dipotong dari penghasilan yang diterima setiap bulan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Penghasilan
yang diberikan dalam mata uang asing yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan termasuk dalam pengertian penghasilan tetap dan
teratur setiap bulan.
Apabila PNS,
Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya merangkap juga sebagai Pejabat
Negara, maka penghasilan yang diterima baik berupa gaji atau uang pensiun dan
tunjangan lain sebagai PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya,
maupun penghasilan berupa gaji kehormatan dan tunjangan lainnya atau imbalan
tetap sejenisnya selaku Pejabat Negara, pajak Penghasilan Pasal 21 yang
terutang juga ditanggung oleh pemerintah selaku pemberi kerja.
Ayat (2)
Huruf a
Termasuk
dalam pengertian ‘gaji dan tunjangan lain’ adalah gaji dan tunjangan ke-13.
Huruf b
Lihat
penjelasan huruf a.
Huruf c
Termasuk
dalam pengertian ‘uang pensiun dan tunjangan lain’ adalah uang pensiun dan
tunjangan ke-13.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Kepemilikan
Nomor Pokok Wajib Pajak dibuktikan oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI,
Anggota POLRI, dan Pensiunannya antara lain dengan menunjukkan kartu Nomor
Pokok Wajib Pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan ‘bendahara pemerintah’ adalah bendahara pengeluaran pada
kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Penghasilan Pejabat
Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang menerima
penghasilan lain yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
(misalnya penghasilan berupa laba usaha, royalti, atau keuntungan penjualan
aktiva) digabung dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam
perhitungan Pajak Penghasilan yang terutang yang dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup
jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5174
Tidak ada komentar:
Posting Komentar