Kamis, 29 November 2012

Peraturan - Peraturan Pajak Penghasilan ( PPH 23 )




PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 100/PMK.03/2011 TANGGAL 11 JULI 2011
TENTANG
TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS SURPLUS BANK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) PERATURAN PEMERINTAH nomor 94 TAHUN 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Surplus Bank Indonesia;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.         PERATURAN PEMERINTAH nomor 94 TAHUN 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
4.         Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS SURPLUS BANK INDONESIA.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1.         Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009.
2.         Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.

Pasal 2
(1)        Surplus Bank Indonesia merupakan objek Pajak Penghasilan.
(2)        Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang PPh dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.
(3)        Laporan keuangan audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
(4)        Penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang PPh dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan atas:
            a.         pengakuan keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing;
            b.         penyisihan aktiva; dan
            c.         penyusutan aktiva tetap.

Pasal 3
(1)        Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a, diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Pedoman Akuntansi Keuangan Bank Indonesia.
(2)        Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diakui sebagai penghasilan atau yang dibebankan sebagai biaya dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang telah direalisasi, yang diperoleh dari selisih antara kurs jual mata uang asing pada tanggal transaksi dengan harga perolehan rata-rata.

Pasal 4
(1)        Penyisihan aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b, dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
(2)        Penyisihan aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan terhadap piutang tak tertagih berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sebagaimana diatur dalam Pedoman Akuntansi Keuangan Bank Indonesia.
(3)        Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
(4)        Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
(5)        Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

Pasal 5
Penyusutan aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf c atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang PPh beserta peraturan pelaksanaannya.

Pasal 6
(1)        Atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang diperoleh sebelum Tahun Pajak 2009, berlaku ketentuan sebagai berikut:
            a.         dasar penyusutan sejak Tahun Pajak 2009 menggunakan nilai sisa buku per tanggal 31 Desember 2008 sesuai dengan Pedoman Akuntansi Keuangan Bank Indonesia; dan
            b.         nilai sisa buku per tanggal 31 Desember 2008 dianggap sebagai harga perolehan Tahun Pajak 2009 dengan menggunakan kelompok harta berwujud sesuai masa manfaat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh.
(2)        Atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dibiayakan sekaligus dan perolehan harta berwujud dimaksud sebelum Tahun Pajak 2009, diperlakukan sebagai biaya pada tahun pengeluaran.
(3)        Atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dibiayakan sekaligus dan perolehan harta berwujud dimaksud sejak Tahun Pajak 2009, pembebanan harta berwujud dimaksud dilakukan melalui penyusutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh beserta peraturan pelaksanaannya.

Pasal 7
Penyesuaian atau koreksi fiskal yang terkait dengan surplus Bank Indonesia yang tidak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan yang berlaku secara umum.

Pasal 8
(1)        Besarnya angsuran pajak dalam Tahun Pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Bank Indonesia untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas surplus Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) menurut Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) Tahun Pajak yang bersangkutan yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dikurangi dengan:
            a.         Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang PPh serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang PPh; dan
            b.         Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang PPh,
dibagi 12 (dua belas).
(2)        Jika dalam Tahun Pajak berjalan terdapat perubahan atas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, besarnya angsuran pajak dalam Tahun Pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Bank Indonesia dihitung kembali berdasarkan perubahan atas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) tersebut dan berlaku mulai Masa Pajak berikutnya setelah bulan disetujuinya perubahan atas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI).

Pasal 9
Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan, paling lambat pada batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang KUP beserta peraturan pelaksanaannya.

Pasal 10
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           11 Juli 2011

MENTERI KEUANGAN,
            ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juli 2011

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
            ttd
PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 396




PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 244/PMK.03/2008 TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
JENIS JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008




MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
a.         bahwa berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, imbalan sehubungan dengan jasa lain selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas imbalan dimaksud;
b.         bahwa berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Menteri Keuangan berwenang mengatur jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
c.         bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a dan huruf b dimaksud, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.         Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG JENIS JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008.

Pasal 1
(1)        Imbalan sehubungan dengan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
(2)        Jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
            a.         Jasa penilai (appraisal);
            b.         Jasa aktuaris;
            c.         Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
            d.         Jasa perancang (design);
            e.         Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT);
            f.          Jasa penunjang di bidang penambangan migas;
            g.         Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;
            h.         Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
            i.          Jasa penebangan hutan;
            j.          Jasa pengolahan limbah;
            k.         Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services);
            l.          Jasa perantara dan/atau keagenan;
            m.        Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI;
            n.         Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
            o.         Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
            p.         Jasa mixing film;
            q.         Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
r.          Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
s.         Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
            t.          Jasa maklon;
            u.         Jasa penyelidikan dan keamanan;
            v.         Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
            w.         Jasa pengepakan;
            x.         Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;
            y.         Jasa pembasmian hama;
            z.          Jasa kebersihan atau cleaning service;
            aa.        Jasa katering atau tata boga.
(3)        Dalam hal penerima imbalan sehubungan dengan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 2
(1)        Jasa penunjang di bidang penambangan migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf f adalah jasa penunjang di bidang penambangan migas dan panas bumi berupa:
a.         Jasa penyemenan dasar (primary cementing) yaitu penempatan bubur semen secara tepat di antara pipa selubung dan lubang sumur;
b.         Jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur semen untuk maksud-maksud:
                        -           Penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong;
                        -           Penyumbatan kembali zona yang berproduksi air;
                        -           Perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal;
                        -           Penutupan sumur.
c.         Jasa pengontrolan pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin bahwa bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi ke dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinan tersumbatnya pipa;
d.         Jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya tembus formasi dan menaikan produktivitas dengan jalan menghilangkan material penyumbat yang tidak diinginkan;
e.         Jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal cara pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang mempunyai daya tembus sangat kecil;
f.          Jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa yang dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru yang telah selesai, sehingga aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian menjadi besar sebagai akibat dari gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur;
g.         Jasa uji kandung lapisan (drill steam testing), penyelesaian sementara suatu sumur baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi;
            h.         Jasa reparasi pompa reda (reda repair);
            i.          Jasa pemasangan instalasi dan perawatan;
            j.          Jasa penggantian peralatan/material;
            k.         Jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur;
            l.          Jasa mud engineering;
            m.        Jasa well logging & perforating;
            n.         Jasa stimulasi dan secondary decovery;
            o.         Jasa well testing & wire line service;
            p.         Jasa alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling;
            q.         Jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling;
            r.          Jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling;
            s.         Jasa lainnya yang sejenis di bidang pengeboran migas.
(2)        Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf g adalah semua jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang pertambangan umum berupa:
            a.         Jasa pengeboran;
            b.         Jasa penebasan;
            c.         Jasa pengupasan dan pengeboran;
            d.         Jasa penambangan;
            e.         Jasa pengangkutan/sistem transportasi, kecuali jasa angkutan umum;
            f.          Jasa pengolahan bahan galian;
            g.         Jasa reklamasi tambang;
            h.         Jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi dan penggalian/pemindahan tanah;
            i.          Jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum.
(3)        Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf h adalah berupa:
            a.         Bidang aeronautika, termasuk:
1.         Jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara dan jasa lain sehubungan dengan pendaratan pesawat udara;
                        2.         Jasa penggunaan jembatan pintu (avio bridge);
                        3.         Jasa pelayanan penerbangan;
                        4.         Jasa ground handling, yaitu pengurusan seluruh atau sebagian dari proses pelayanan penumpang dan bagasinya serta kargo, yang diangkut dengan pesawat udara, baik yang berangkat maupun yang datang, selama pesawat udara di darat;
                        5.         Jasa penunjang lain di bidang aeronautika.
            b.         Bidang non-aeronautika, termasuk:
                        1.         Jasa catering di pesawat dan jasa pembersihan pantry pesawat;
                        2.         Jasa penunjang lain di bidang non-aeronautika.
(4)        Jasa maklon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf t adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan baku dan atau barang setengah jadi dan atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa.
(5)        Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf v adalah kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha jasa penyelenggara kegiatan meliputi antara lain penyelenggaraan pameran, konvensi, pagelaran musik, pesta, seminar, peluncuran produk, konferensi pers, dan kegiatan lain yang memanfaatkan jasa penyelenggara kegiatan.

Pasal 3
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           31 Desember 2008

MENTERI KEUANGAN
            ttd
SRI MULYANI INDRAWATI




PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR PER-1/PJ/2011 TANGGAL 10 JANUARI 2011
TENTANG
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN OLEH PIHAK LAIN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang       :
bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 21 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan oleh Pihak Lain;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.         Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Tahun 2010 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5138);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN OLEH PIHAK LAIN.

Pasal 1
(1)        Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena:
            a.         mengalami kerugian fiskal;
            b.         berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal;
            c.         Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang,
            dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2)        Wajib Pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final, dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3)        Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Pasal 2
(1)        Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal I ayat (1) dan ayat (2) diberikan Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Keterangan Bebas.
(2)        Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 3
Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan kepada:
a.         Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a, dalam hal:
            1)         Wajib Pajak yang baru berdiri dan masih dalam tahap investasi;
            2)         Wajib Pajak belum sampai pada tahap produksi komersial; atau
            3)         Wajib Pajak mengalami suatu peristiwa yang berada di luar kemampuan (force majeur).
b.         Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, dengan memperhitungkan besarnya kerugian tahun-tahun pajak sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan atau surat ketetapan pajak.
c.         Wajib Pajak yang dapat membuktikan Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c.
d.         Wajib Pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2).

Pasal 4
(1)        Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan syarat telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir sebelum tahun diajukan permohonan kecuali untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a angka 1).
(2)        Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan untuk setiap pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor, dan/atau Pasal 23 dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3)        Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri penghitungan Pajak Penghasilan yang diperkirakan akan terutang untuk tahun pajak diajukannya permohonan untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, huruf b, dan huruf c.

Pasal 5
(1)        Atas permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan keputusan dengan menerbitkan:
            a.         Surat Keterangan Bebas; atau
            b.         surat penolakan permohonan Surat Keterangan Bebas,
            dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
(2)        Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak belum memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
(3)        Dalam hal permohonan Wajib Pajak dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib menerbitkan Surat Keterangan Bebas dalam jangka waktu 2 (dua) hari kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlewati.

Pasal 6
Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud Pasal 2 berlaku sampai dengan berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.

Pasal 7
Bentuk formulir Surat Keterangan Bebas untuk:
a.         pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 21/Pasal 22/Pasal 23 adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II,
b.         pemungutan PPh Pasal 22 impor adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 8
Dalam hal permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ditolak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak dengan mempergunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 9
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-192/PJ/2002 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 10
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2011.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           10 Januari 2011

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
            ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO






PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR PER-33/PJ/2009 TANGGAL 4 JUNI 2009
TENTANG
PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA ROYALTI DARI HASIL KARYA SINEMATOGRAFI

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang       :
Dalam rangka memberikan kepastian hukum atas perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa royalti dari hasil karya sinematografi, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa royalti dari hasil Karya Sinematografi;

Mengingat         :
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA ROYALTI DARI HASIL KARYA SINEMATOGRAFI.

Pasal 1
(1)        Pemanfaatan hasil Karya Sinematografi dapat dilakukan melalui suatu perjanjian penggunaan hasil Karya Sinematografi:
            a.         dengan pemindahan seluruh hak cipta tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada kewajiban pembayaran kompensasi di kemudian hari;
            b.         dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya, dengan persyaratan tertentu seperti penggunaan Karya Sinematografi untuk jangka waktu atau wilayah tertentu;
            c.         dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain untuk mengumumkan ciptaannya dengan menggunakan pola bagi hasil antara pemegang hak cipta dan pengusaha bioskop; atau
            d.         dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain tanpa hak untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya.
(2)        Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perjanjian yang dilakukan baik secara tertulis maupun tidak tertulis.

Pasal 2
(1)        Penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dari penggunaan hasil Karya Sinematografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan huruf d, tidak termasuk dalam pengertian royalti.
(2)        Penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dari pemberian hak menggunakan hak cipta kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b dan huruf c, termasuk dalam pengertian royalti.

Pasal 3
Jumlah royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang menjadi dasar pengenaan Pajak Penghasilan adalah:
a.         sebesar seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dalam hal pemanfaatan dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b; dan
b.         sebesar 10% dari bagi hasil dalam hal pemanfaatan dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c.

Pasal 4
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    : Jakarta
Tanggal            : 4 Juni 2009

DIREKTUR JENDERAL,
            ttd
DARMIN NASUTION


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2009

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (2d) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri;

Mengingat :
  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI.

Pasal 1

Penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.

Pasal 2

Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen.

Pasal 3

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 4

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Februari 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO









Tidak ada komentar:

Posting Komentar