PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 100/PMK.03/2011
TANGGAL 11 JULI 2011
TENTANG
TATA CARA
PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS SURPLUS BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) PERATURAN PEMERINTAH nomor 94 TAHUN
2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak
Penghasilan dalam Tahun Berjalan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Surplus
Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. PERATURAN PEMERINTAH nomor 94 TAHUN
2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak
Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun
2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
SURPLUS BANK INDONESIA.
Pasal 1
Dalam Peraturan
Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang
nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang
selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
Pasal 2
(1) Surplus Bank Indonesia merupakan objek
Pajak Penghasilan.
(2) Surplus Bank Indonesia yang merupakan
objek Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan
audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-Undang PPh dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.
(3) Laporan keuangan audit sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil audit yang dilakukan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan.
(4) Penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai
dengan Undang-Undang PPh dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan atas:
a. pengakuan
keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing;
b. penyisihan
aktiva; dan
c. penyusutan
aktiva tetap.
Pasal 3
(1) Keuntungan atau kerugian selisih kurs
mata uang asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a, diakui
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai
dengan Pedoman Akuntansi Keuangan Bank Indonesia.
(2) Keuntungan atau kerugian selisih kurs
mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diakui sebagai
penghasilan atau yang dibebankan sebagai biaya dalam menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak adalah keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang
asing yang telah direalisasi, yang diperoleh dari selisih antara kurs jual mata
uang asing pada tanggal transaksi dengan harga perolehan rata-rata.
Pasal 4
(1) Penyisihan aktiva sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b, dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak.
(2) Penyisihan aktiva sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dilakukan terhadap piutang tak tertagih berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sebagaimana diatur dalam
Pedoman Akuntansi Keuangan Bank Indonesia.
(3) Kerugian yang berasal dari piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak
tertagih.
(4) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak
tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jumlah kelebihan cadangan tersebut
diperhitungkan sebagai penghasilan.
(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak
tertagih dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan
sebagai kerugian.
Pasal 5
Penyusutan aktiva
tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf c atas pengeluaran
untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun, dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang PPh beserta
peraturan pelaksanaannya.
Pasal 6
(1) Atas pengeluaran untuk memperoleh harta
berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang diperoleh
sebelum Tahun Pajak 2009, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. dasar
penyusutan sejak Tahun Pajak 2009 menggunakan nilai sisa buku per tanggal 31
Desember 2008 sesuai dengan Pedoman Akuntansi Keuangan Bank Indonesia; dan
b. nilai
sisa buku per tanggal 31 Desember 2008 dianggap sebagai harga perolehan Tahun
Pajak 2009 dengan menggunakan kelompok harta berwujud sesuai masa manfaat
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh.
(2) Atas pengeluaran untuk memperoleh harta
berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dibiayakan
sekaligus dan perolehan harta berwujud dimaksud sebelum Tahun Pajak 2009,
diperlakukan sebagai biaya pada tahun pengeluaran.
(3) Atas pengeluaran untuk memperoleh harta
berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dibiayakan
sekaligus dan perolehan harta berwujud dimaksud sejak Tahun Pajak 2009,
pembebanan harta berwujud dimaksud dilakukan melalui penyusutan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang PPh beserta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 7
Penyesuaian atau
koreksi fiskal yang terkait dengan surplus Bank Indonesia yang tidak diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, mengikuti peraturan perundang-undangan di
bidang Pajak Penghasilan yang berlaku secara umum.
Pasal 8
(1) Besarnya angsuran pajak dalam Tahun
Pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Bank Indonesia untuk setiap
bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan
tarif umum atas surplus Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) menurut Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) Tahun Pajak yang
bersangkutan yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dikurangi
dengan:
a. Pajak
Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang PPh
serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
Undang-Undang PPh; dan
b. Pajak
Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang PPh,
dibagi
12 (dua belas).
(2) Jika dalam Tahun Pajak berjalan terdapat
perubahan atas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) yang telah disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat, besarnya angsuran pajak dalam Tahun Pajak berjalan
yang harus dibayar sendiri oleh Bank Indonesia dihitung kembali berdasarkan
perubahan atas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) tersebut dan berlaku
mulai Masa Pajak berikutnya setelah bulan disetujuinya perubahan atas Anggaran
Tahunan Bank Indonesia (ATBI).
Pasal 9
Kekurangan pembayaran
pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan, paling lambat pada batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang KUP
beserta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 10
Peraturan Menteri
Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 11
Juli 2011
MENTERI KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 11 Juli
2011
MENTERI HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 396
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 244/PMK.03/2008
TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
JENIS JASA LAIN
SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI
DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan Pasal 23 ayat (1)
huruf c angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, imbalan sehubungan dengan jasa lain selain yang telah dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipotong Pajak
Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas imbalan dimaksud;
b. bahwa berdasarkan Pasal 23 ayat (2)
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Menteri
Keuangan berwenang mengatur jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan pada
huruf a dan huruf b dimaksud, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c
Angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun
2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN TENTANG JENIS JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1)
HURUF C ANGKA 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36
TAHUN 2008.
Pasal 1
(1) Imbalan sehubungan dengan jasa lain
selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008,
dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Jenis jasa lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri dari:
a. Jasa
penilai (appraisal);
b. Jasa
aktuaris;
c. Jasa
akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
d. Jasa
perancang (design);
e. Jasa
pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas),
kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT);
f. Jasa
penunjang di bidang penambangan migas;
g. Jasa
penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;
h. Jasa
penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
i. Jasa
penebangan hutan;
j. Jasa
pengolahan limbah;
k. Jasa
penyedia tenaga kerja (outsourcing services);
l. Jasa
perantara dan/atau keagenan;
m. Jasa
di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa
Efek, KSEI dan KPEI;
n. Jasa
kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
o. Jasa
pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
p. Jasa
mixing film;
q. Jasa
sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan
perbaikan;
r. Jasa instalasi/pemasangan mesin,
peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan
mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
s. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan
mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat
transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau
sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
t. Jasa
maklon;
u. Jasa
penyelidikan dan keamanan;
v. Jasa
penyelenggara kegiatan atau event organizer;
w. Jasa
pengepakan;
x. Jasa
penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media
lain untuk penyampaian informasi;
y. Jasa
pembasmian hama;
z. Jasa
kebersihan atau cleaning service;
aa. Jasa
katering atau tata boga.
(3) Dalam hal penerima imbalan sehubungan
dengan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen)
daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 2
(1) Jasa penunjang di bidang penambangan
migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf f adalah jasa penunjang
di bidang penambangan migas dan panas bumi berupa:
a. Jasa penyemenan dasar (primary
cementing) yaitu penempatan bubur semen secara tepat di antara pipa selubung
dan lubang sumur;
b. Jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing),
yaitu penempatan bubur semen untuk maksud-maksud:
- Penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong;
- Penyumbatan kembali zona yang berproduksi air;
- Perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal;
- Penutupan sumur.
c. Jasa pengontrolan pasir (sand control),
yaitu jasa yang menjamin bahwa bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi
tidak akan ikut terproduksi ke dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan
kemungkinan tersumbatnya pipa;
d. Jasa pengasaman (matrix acidizing),
yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya tembus formasi dan menaikan
produktivitas dengan jalan menghilangkan material penyumbat yang tidak
diinginkan;
e. Jasa peretakan hidrolika (hydraulic),
yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal cara pengasaman tidak cocok, misalnya
perawatan pada formasi yang mempunyai daya tembus sangat kecil;
f. Jasa nitrogen dan gulungan pipa
(nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa yang dikerjakan untuk menghilangkan
cairan buatan yang berada dalam sumur baru yang telah selesai, sehingga aliran yang
terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian menjadi besar sebagai
akibat dari gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam
sumur;
g. Jasa uji kandung lapisan (drill steam
testing), penyelesaian sementara suatu sumur baru agar dapat mengevaluasi
kemampuan berproduksi;
h. Jasa
reparasi pompa reda (reda repair);
i. Jasa
pemasangan instalasi dan perawatan;
j. Jasa
penggantian peralatan/material;
k. Jasa
mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur;
l. Jasa
mud engineering;
m. Jasa
well logging & perforating;
n. Jasa
stimulasi dan secondary decovery;
o. Jasa
well testing & wire line service;
p. Jasa
alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling;
q. Jasa
pemeliharaan untuk pekerjaan drilling;
r. Jasa
mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling;
s. Jasa
lainnya yang sejenis di bidang pengeboran migas.
(2) Jasa penambangan dan jasa penunjang di
bidang penambangan selain migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2)
huruf g adalah semua jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang pertambangan
umum berupa:
a. Jasa
pengeboran;
b. Jasa
penebasan;
c. Jasa
pengupasan dan pengeboran;
d. Jasa
penambangan;
e. Jasa
pengangkutan/sistem transportasi, kecuali jasa angkutan umum;
f. Jasa
pengolahan bahan galian;
g. Jasa
reklamasi tambang;
h. Jasa
pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi dan
penggalian/pemindahan tanah;
i. Jasa
lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum.
(3) Jasa penunjang di bidang penerbangan dan
bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf h adalah berupa:
a. Bidang
aeronautika, termasuk:
1. Jasa pendaratan, penempatan,
penyimpanan pesawat udara dan jasa lain sehubungan dengan pendaratan pesawat
udara;
2. Jasa penggunaan jembatan pintu (avio
bridge);
3. Jasa pelayanan penerbangan;
4. Jasa ground handling, yaitu pengurusan
seluruh atau sebagian dari proses pelayanan penumpang dan bagasinya serta
kargo, yang diangkut dengan pesawat udara, baik yang berangkat maupun yang
datang, selama pesawat udara di darat;
5. Jasa penunjang lain di bidang
aeronautika.
b. Bidang
non-aeronautika, termasuk:
1. Jasa catering di pesawat dan jasa
pembersihan pantry pesawat;
2. Jasa penunjang lain di bidang
non-aeronautika.
(4) Jasa maklon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (2) huruf t adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian
suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi
jasa (disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan baku dan atau barang setengah
jadi dan atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau
seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi
berada pada pengguna jasa.
(5) Jasa penyelenggara kegiatan atau event
organizer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf v adalah kegiatan
usaha yang dilakukan oleh pengusaha jasa penyelenggara kegiatan meliputi antara
lain penyelenggaraan pameran, konvensi, pagelaran musik, pesta, seminar,
peluncuran produk, konferensi pers, dan kegiatan lain yang memanfaatkan jasa
penyelenggara kegiatan.
Pasal 3
Peraturan Menteri
Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 31
Desember 2008
MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-1/PJ/2011
TANGGAL 10 JANUARI 2011
TENTANG
TATA CARA PENGAJUAN
PERMOHONAN PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN
OLEH PIHAK LAIN
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa dalam rangka
pelaksanaan Pasal 21 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun
Berjalan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara
Pengajuan Permohonan Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak
Penghasilan oleh Pihak Lain;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun
2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak
Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Tahun 2010 Nomor
161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5138);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PEMBEBASAN DARI
PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN OLEH PIHAK LAIN.
Pasal 1
(1) Wajib Pajak yang dalam tahun pajak
berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena:
a. mengalami
kerugian fiskal;
b. berhak
melakukan kompensasi kerugian fiskal;
c. Pajak
Penghasilan yang telah dan akan dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang
akan terutang,
dapat mengajukan permohonan
pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak
lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak yang atas penghasilannya
hanya dikenakan pajak bersifat final, dapat mengajukan permohonan pembebasan
dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan
kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Permohonan pembebasan dari pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) tidak berlaku terhadap pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
Pasal 2
(1) Pembebasan dari pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal I ayat (1) dan
ayat (2) diberikan Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Keterangan Bebas.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 3
Surat Keterangan
Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan kepada:
a. Wajib Pajak yang dalam tahun pajak
berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena
mengalami kerugian fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a,
dalam hal:
1) Wajib
Pajak yang baru berdiri dan masih dalam tahap investasi;
2) Wajib
Pajak belum sampai pada tahap produksi komersial; atau
3) Wajib
Pajak mengalami suatu peristiwa yang berada di luar kemampuan (force majeur).
b. Wajib Pajak yang dalam tahun pajak
berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena berhak
melakukan kompensasi kerugian fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) huruf b, dengan memperhitungkan besarnya kerugian tahun-tahun pajak
sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan yang tercantum dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan atau surat ketetapan pajak.
c. Wajib Pajak yang dapat membuktikan
Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar lebih besar dari Pajak
Penghasilan yang akan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf c.
d. Wajib Pajak yang atas penghasilannya
hanya dikenakan pajak bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(2).
Pasal 4
(1) Permohonan pembebasan dari pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) dan ayat (2), diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar dengan syarat telah menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir sebelum tahun
diajukan permohonan kecuali untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 huruf a angka 1).
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diajukan untuk setiap pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor, dan/atau Pasal 23 dengan menggunakan
formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilampiri penghitungan Pajak Penghasilan yang diperkirakan akan
terutang untuk tahun pajak diajukannya permohonan untuk Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, huruf b, dan huruf c.
Pasal 5
(1) Atas permohonan pembebasan dari
pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan keputusan dengan
menerbitkan:
a. Surat
Keterangan Bebas; atau
b. surat
penolakan permohonan Surat Keterangan Bebas,
dalam jangka waktu paling lama 5
(lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak belum memberikan
keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
(3) Dalam hal permohonan Wajib Pajak
dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan
Pajak wajib menerbitkan Surat Keterangan Bebas dalam jangka waktu 2 (dua) hari
kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlewati.
Pasal 6
Surat Keterangan
Bebas sebagaimana dimaksud Pasal 2 berlaku sampai dengan berakhirnya tahun
pajak yang bersangkutan.
Pasal 7
Bentuk formulir Surat
Keterangan Bebas untuk:
a. pemotongan dan/atau pemungutan PPh
Pasal 21/Pasal 22/Pasal 23 adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II,
b. pemungutan PPh Pasal 22 impor adalah
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III
yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 8
Dalam hal permohonan
pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ditolak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus
menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak dengan mempergunakan formulir
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini,
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini.
Pasal 9
Pada saat Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP-192/PJ/2002 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB)
Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 10
Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2011.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10
Januari 2011
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-33/PJ/2009
TANGGAL 4 JUNI 2009
TENTANG
PERLAKUAN PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA ROYALTI DARI HASIL KARYA SINEMATOGRAFI
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
Dalam rangka
memberikan kepastian hukum atas perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan
berupa royalti dari hasil karya sinematografi, perlu menetapkan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak tentang perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan
berupa royalti dari hasil Karya Sinematografi;
Mengingat :
Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA
ROYALTI DARI HASIL KARYA SINEMATOGRAFI.
Pasal 1
(1) Pemanfaatan hasil Karya Sinematografi
dapat dilakukan melalui suatu perjanjian penggunaan hasil Karya Sinematografi:
a. dengan
pemindahan seluruh hak cipta tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada
kewajiban pembayaran kompensasi di kemudian hari;
b. dengan
memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak
lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak
terkaitnya, dengan persyaratan tertentu seperti penggunaan Karya Sinematografi
untuk jangka waktu atau wilayah tertentu;
c. dengan
memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak
lain untuk mengumumkan ciptaannya dengan menggunakan pola bagi hasil antara
pemegang hak cipta dan pengusaha bioskop; atau
d. dengan
memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak
lain tanpa hak untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk
hak terkaitnya.
(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah perjanjian yang dilakukan baik secara tertulis maupun tidak
tertulis.
Pasal 2
(1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh
pemegang hak cipta dari penggunaan hasil Karya Sinematografi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan huruf d, tidak termasuk dalam
pengertian royalti.
(2) Penghasilan yang diterima atau diperoleh
pemegang hak cipta dari pemberian hak menggunakan hak cipta kepada pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b dan huruf c, termasuk dalam
pengertian royalti.
Pasal 3
Jumlah royalti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang menjadi dasar pengenaan Pajak
Penghasilan adalah:
a. sebesar seluruh penghasilan yang
diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dalam hal pemanfaatan dilakukan
dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b; dan
b. sebesar 10% dari bagi hasil dalam hal
pemanfaatan dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf c.
Pasal 4
Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 4 Juni 2009
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
DARMIN NASUTION
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 19
TAHUN 2009
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (2d) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri;
Mengingat :
- Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI.
Pasal 1
Penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.
Pasal 2
Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen.
Pasal 3
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 4
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Februari 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
pada tanggal 9 Februari 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar